Pagi yang begitu indah, dengan langit yang membiru cerah,
matahari tersenyum sumringah dan angin pun bertiup sepoi penuh gairah. Ku
langkahkan kakiku menuju kursi di belakang rumah, ku duduk bersantai disana, menikmati sejuknya aroma pagi
dengan secangkir teh panas. Ku letakkan teh dan majalah di atas meja di
sebelahku. Ku mulai memejamkan
mata perlahan.
Ku berjalan menelusuri tepian pantai, merentangkan tangan,
merasakan angin yang bertiup kencang, ku merasa ingin terbang. Terlihat
anak-anak remaja berlari kejar-mengejar, penuh tawa, saling goda-menggoda. Hmm,
aku tertawa kecil melihatnya. Dari sisi yang sama, terlihat anak kecil sadang
bermain layang-layang bersama ayahnya. Dengan sabar sang ayah mengarahkan,
membimbing, dia pegang tangan sang anak erat. Mereka menaik, mengulur benang
layang-layang. Dan wanita di seberang sana, bersantai di atas kursi pantai,
berbaring di bawah payung rumah kecil, Nampak sekali senyum indahnya menatapi
tingkah seorang anak dan ayahnya menerbangkan layang-layang, dia sang
ibu dari anak itu. Sungguh pemandangan yang indah.
Ku kembali melangkahkan kaki, ku seret-seret
setiap pasir yang ku lewati. Lembut, halus, dan putih. Indah. Langkahku
terhenti, ku lihat seorang gadis kecil yang duduk manis di tebing beton pinggiran
pantai, kakinya setengah masuk ke air, ombak hilir-mudik menerpa pelan. Ku
hampiri dia.
“hai dik, boleh ikut duduk?” ku rendahkan
kepalaku dan berjongkok.
Dia menoleh ke arahku, tersenyum dan
mengangguk.
Akupun tersenyum dan memposisikan diriku
sepertinya, duduk berdua. “Adik sendirian?” Dia hanya mengangguk.
“Kakak temani ya?” aku tersenyum, diapun membalas
senyumanku.
Lama kami hanya berdiam disana, memandangi luasnya lautan, menyaksikan
perahu-perahu wisata berlalu lalang, menikmati sambaran ombak di kaki, dan
menikmati semilirnya angin yang sepoi. Dia, si gadis kecil itu nampak tenang.
“Dik, indah ya pantai ini? Pasirnya putih,
airnya jernih, lingkungannya bersih” ku mulai mengajaknya bicara. Dia hanya
tersenyum, tak menjawab.
“Kakak lihat, adik betah sekali duduk
disini, bahkan daritadi dengan posisi yang sama” aku melanjutkan bicara. Dia
kembali tersenyum, kali ini lebih lebar, menarik bibirnya ke belakang dan
nampak jelas lesung dipipinya, dia menyibak-nyibakkan air di kakinya, dan masih
tak bicara. Akupun ikut terbawa olehnya, ku tersihir oleh senyumnya yang
menawan, senyum keceriaan. Ku ikut tertawa kecil, menyibakkan juga air di
kakiku yang terkena ombak. Ku terdiam
kembali. Suasana hening lagi diantara kami. Hanya terdengar teriakan dan gelak
tawa dari pengunjung pantai lainnya.
“Rin, pulang yuk,,,” tiba-tiba ada seorang
laki-laki di belakang kami dan menyentuh bahu gadis kecil di sampingku. Gadis
kecil itupun bangkit, mengangguk dan tersenyum. Akupun ikut berdiri dari posisi
dudukku. Laki-laki itu berjongkok menyamai tinggi gadis kecil, memegang bahunya
dan dengan lembut laki-laki itu bicara kepada gadis kecil sambil membelai
rambutnya “Rin, maafin kakak ya, membuatmu lama menunggu”. Gadis itu hanya
tersenyum memandangi laki-laki itu. Lalu si gadis memainkan tangannya, suatu
isyarat, gerakan tangannya menggambarkan suatu kalimat, itu caranya
berkomunikasi pada laki-laki itu, aku tak mengerti. Kemudian laki-laki itu
berdiri, melihatku dan memberi senyuman, “hai, nama saya Rudi, saya kakaknya Rina” dia mengulurkan tangan. Aku
menjabatnya, “saya Eki” aku membalas senyumnya. “terima kasih ya, kamu sudah
menemani adik saya, maaf jika dia hanya diam saja” Rudi memandang ke adiknya.
Aku tersenyum “ iya, tidak apa-apa”. Jelas sekali ada makna yang tersirat dari sebuah kalimat “hanya diam saja”, aku tak mau bertanya perihal itu. Seharusnya aku
menyadari bahwa gadis yang sedari tadi ku temani tak dapat bicara. Aku merasa
bersalah karena banyak bicara ketika bersamanya.
Gadis kecil itu menarik-narik bajuku,
memberikan isyarat kepadaku, aku tak mengerti. “dia bilang terimakasih sudah
mau duduk bersama dia” Rudi menjelaskan. Aku tersenyum, berjongkok menyamai
tingginya, “iya, sama-sama adik manis, kakak senang bisa duduk sama kamu
disini” aku mencubit kedua pipinya, gemas. Aku kembali berdiri. “yuk Rin, kita
pulang, sudah sore, nanti dicariin Mama” Rudi menggandeng tangan mungil
adiknya. Rina mengangguk. “kami pulang dulu ya Ki, sekali lagi terimakasih”
Rudi pamit. “iya, sama-sama” aku menjawab. Mereka pun berlalu pergi, sesekali
Rina melambaikan tangan padaku, “haatiii-haaatiiii yaaaa, saammmpaaii
juummpaaa” aku melambaikan tangan, berteriak. Rina tersenyum, kakaknya meoleh
melambaikan tangan. Akupun tersenyum menurunkan lambaianku, memandangi punggung
mereka berlalu.
Aku masih terdiam di tempat itu, tempat
dimana aku bersama Rina si gadis tunawicara nan cantik, ku nikmati sunset sore
hari yang indah, duduk bersantai dengan kedua tangan sebagai penyangga
dibelakang, kakiku ku biarkan menyibak-nyibak halus ombak yang datang ke
tepian. Suara pantai sudah mulai menyepi, satu persatu kaki-kaki para
pengunjung mulai menghilang di segala arah, pulang. Akupun tak ingin tetap
disini, ku beranjak berdiri, mengibaskandebu-debu di bajuku, dan melangkah
pergi dari tempat itu.
Aku mulai membuka mata perlahan.
“udah ngayalnya?” heih, tiba-tiba suara
Imel mengagetkanku.
“ah Lu, ngagetin Gue aja” mempertegak
posisi dudukku dan menyerutup teh yang ku letakkan di meja.
Imel adalah tetangga sebelah rumahku,
selain itu, dia juga temen baikku sejak aku pindah di rumah ini 2 tahun lalu.
Kita masih kelas 2 SMA di sekolah yang sama namun di kelas yang berbeda.
“nah
loh, kok kosong??” aku melihat isi cangkir yang ku sadari sudah kosong saat ku menyeruputnya.
“hehe, salah siapa teh secangkir ditinggal
merem, ya Gue embat aja, hahaha” saut Imel.
“ ah
Lu, Mel” aku meletakkan kembali cangkir ke meja. “lagian sejak kapan Lu ada
disini” aku melanjutkan.
“sejak Lu merem sambil ketawa-ketiwi
sendiri. Hehe” ledek Imel.
“Isshhh” aku sebal.
“lagian Lu sih, dipanggil-panggil enggak
nyaut-nyaut, ya udah, Gue nylonong aja. Ternyata Elunya lagi merem di belakang”
kata Imel
“hehe, sorry, Gue enggak denger” kataku
nyengir
“udah biasa kali” Imel nyeletuk, mengambil
majalah di meja. “hobby banget sih ngehayal? Apa enaknya juga??” dia
melanjutkan.
“hehe, ngehayal tuh enak tau, membiarkan
imajinasi melayang bebas, disana kita bisa jadi apa aja yang kita inginkan, mau
terbang? Bisa, mau renang? Bisa, hehe” aku menatapnya, menyindir Imel yang
tidak bisa renang.
“ih, apaan..” Imel sebal
“hehe, dengan menghayal kita bisa jadi apa
aja Mel, enggak ada batasan” aku melanjutkan.
“hmmm,,, iya deh, iyaa “ jawab Imel sambil
membolak-balik majalah.
“tapi, kalo ngayal ya harus bisa membawa
diri mel” tambahku
“membawa diri gimana?” jawab Imel yang
masih menatap ke majalah
“ya harus bisa membedakan, mana dunia
nyata, mana dunia khayal, kalo Lu enggak bisa bawa diri, nyampur tuh dunia
khayal ke dunia nyata, yang ada malah suka berandai-andai. Contohnya, kalo Lu
lagi ada masalah, bukannya cepetan nyelesein tapi malah cuma berandai-andai
aja, andai ini lah, andai itu lah, bla bla bla.... kan enggak bakal kelar tuh
masalah. Meskipun berkhayal itu tidak ada batasan, tapi itu hanya berlaku dalam
dunia khayal, enggak berlaku di dunia nyata”. Aku menjelaskan.
“ooohh,, begitu,,” jawab Imel singkat, dan
masih memperhatikan majalah di tangannya.
“ah Lu, Mel, percuma Gue ngomong panjang
kali lebar sama dengan luas, elunya malah enggak merhatiin”. Kataku sebal
“Gue masih bisa denger kok, hehe” Imel
ngeles
“udah ah, Gue mau mandi” aku bangkit dari
kursi dan menyambar majalah di tangan Imel.
“yah, yah, yah.... Gue belum kelar Ki
bacanya, lagi seru tuh” Imel mencoba menahan majalah.
“boddoo,,, weeekkk” aku meledek. “udah sono
pulang, mandi, belum mandi kok udah maen ke rumah orang, bau tuh,, haha” aku
melanjutkan sambil berjalan meninggalkan Imel.
“yeee,, biarin, kan masih tetep cantik,,,
haha” jawab Imel
Perbincangan pun berakhir, aku mandi dan Imel entah kemana perginya.