Jumat, 28 Februari 2014

PELIK



Hatiku berontak
Aaaaaaahhhhhhh
Terlalu kusut kah benang ini?
Hingga ku tak mampu temukan arah pengenduran ikatannya
Aku kebingungan dalam mencari langkah
Harus bagaimana ku dapat memposisikan diri?
Bukankah subjektifitas hanyalah sebuah keegoisan?
Lalu harus bagaimana aku harus bertempat?
Jika objektifitas tak mampu ku tangkap

Mata ini, telinga ini
Bahkan perasaan ini masih peka membaca situasi
Namun masih saja ku tak dapat menemukan titik untuk berdiri
Harus bagaimanakah aku?
Berlarikah?
Lalu kemana aku harus pergi?
Bukankah pelarian hanya untuk pecuncang?

Rabu, 26 Februari 2014

[Mozaik Blog Competition 2014] Diary, Awal Mimpiku

Event Mozaik Blog Competition  sponsored by beon.co.id  



Menulis telah menjadi hobbyku sejak SD, meskipun itu hanya sebatas menulis kegiatan sehari-hariku lewat buku diary, aku menikmati kegiatan itu. Bagi orang yang penuh rasa sepertiku, menulis diary merupakan sarana untuk mencurahkan isi hati, disana aku dapat menceritakan apapun yang orang lain tak boleh tahu. Berawal dari kegemaranku menulis kisahku dalam diary itulah, aku tertarik untuk memfisualkan imajinasiku lewat tulisan. Lewat tulisan aku bisa bebas berekspresi. Perasaan sedih, bahagia, cemburu, kecewa, galau, dan segala rasa ku ekspresikan lewat tulisan, puisi, cerpen, maupun hanya sekedar kata-kata singkat.
Aku merupakan orang yang mudah minder, suka pesimis dalam menghadapi premis. Karena sifat burukku itulah mimpiku untuk menjadi penulis sempat tersingkirkan, aku terdiam, vakum dalam tulisan, aku menyerah. Namun berkat dukungan dari para sahabat, aku terus melaju menumbuhkan rasa optimis.
Sudah beberapa kali aku mengikuti lomba menulis, pertama kali aku ikut lomba puisi, aku menang, itu merupakan awal yang luar biasa, semakin memacuku mengejar prestasi, aku terus berjuang, dan berujung dengan kegagalan. Tapi, ketika ku mulai menemui banyak kegagalan, hal itu bukan lagi  menjadi kisah yang dramatis, itu merupakan proses untuk menuju kesuksesanku yang tidak praktis.
Soal kegagalan itu sudah biasa, semakin banyak kegagalan yang kita alami, semakin dekat kita dengan keberhasilan. Menurut buku yang pernah saya baca sih seperti itu. Thomas Alfa Edison pun banyak mengalami kegagalan ketika menciptakan bola lampu, tapi dia tak pernah menyerah hingga eksperimen ke seribu. Kegagalan merupakan awal dari kesuksesan. Kalimat itu sudah familiar, dan itu benar. Dengan adanya kegagalan, kita dituntut untuk menciptakan suatu keberhasilan yang lebih dari yang sekedar kita inginkan. Karena kegagalan itu berkriteria, mempunyai pedoman, dan memiliki tolok penilaian tersendiri.  Soal tulisan, TERE LIYE, seorang penulis yang terkenal dengan bahasanya yang tegas dan lugas pun pernah mengalami kegagalan. Saya pernah membaca di akun sosial medianya bahwa novelnya yang berjudul “Hafalan Sholat Delisa” pernah ditolak penerbit ternama, namun lihat sekarang, novel tersebut malah meledak di pasaran, serta menjadi salah satu novel beliau yang di filemkan.
Menulis itu gampang-gampang mudah. Nah loh. Iya memang benar, menulis itu tidak sulit, mulailah dengan menuliskan hal yang sederhana. Penulis besar dengan kata-kata yang tajam dengan diksi yang mengagumkan pun memulainya dengan hal yang sederhana. yang paling penting, jangan mencela hasil karya sendiri. Seburuk apapun tulisanmu, itu adalah hasilmu. Jika ingin dihargai orang lain, hargai dulu milik kita sendiri. Selain itu, ubahlah kata “buruk” menjadi “kurang baik”, karena yang kurang itu bisa ditambahi menjadi lebih, jika kita terus dan terus berusaha memperbaiki. Salah seorang teman ada yang pernah bilang “kualitas itu akan muncul dengn adanya kuantitas”. Maksudnya, jika kita terus dan terus berlatih, maka kualitas tulisan kitapun lambat laun akan terlihat dengan sendirinya.
Aku sangat suka berbagi, apalagi membagi inspirasi dan imajinasiku. Lewat facebook, twitter, dan juga blog, aku mempublikasikan karyaku kepada semua orang agar bisa membacanya. Sewaktu masih sekolah, aku suka memenuhi madding sekolah dengan karyaku, puisi-puisi, cerpen, dan kata motivasi. Dulu waktu aku masih SMP, ada tugas Bahasa Indonesia untuk membuat puisi, pada saat itu puisiku dinobatkan sebagai puisi terbaik di kelas fersi guruku, Bu Titik. Karena hal itu, aku semangin bersemangat untuk membuat puisi. Selain itu, ada juga tugas membuat drama kelas, pada saat itu banyak yang menggunakan cerita-cerita dongeng yang telah populer di masyarakat, tapi aku tak ingin seperti mereka, akhirnya akupun mengarang cerita sendiri bertemakan persahabatan, membuat naskah untuk teman-temanku, dan ceritakupun diperankan. Pada saat SMApun begitu, ada pementasan drama kelas, dan akupun berlaga sebagai penulis cerita, sutradara, serta pemerannya, :). Aku tak mencari pujian, aku hanya ingin memuaskan rasa hati dengan berbagi.
Aku ingin sekali suatu hari namaku muncul di cover sebuah buku, buku yang eksistensinya memberi manfaat dan dicari. Aku ingin menjadi penulis, penulis dengan gayaku sendiri, yang bisa memberikan pembaca sebuah arti tersendiri, dan aku bahagia karena meninggalkan sebuah kenangan jika ku tak menginjak bumi lagi. Aku menyadari sebatas apa karya-karyaku ini, aku hanyalah seorang “writer wannabe” yang terus berjuang meraih mimpi. Namun, Aau yakin, suatu saat aku mampu mewujudkan impian menjadi penulis dan puisi-puisi serta kisah-kisahku dalam buku harianku, akan membuat pembacaku menjadi menangis saat sudah di rilis.

Selasa, 25 Februari 2014

Tentang Hayalan


Pagi yang begitu indah, dengan langit yang membiru cerah, matahari tersenyum sumringah dan angin pun bertiup sepoi penuh gairah. Ku langkahkan kakiku menuju kursi di belakang rumah, ku duduk bersantai disana, menikmati sejuknya aroma pagi dengan secangkir teh panas. Ku letakkan teh dan majalah di atas meja di sebelahku. Ku mulai memejamkan mata perlahan.
Ku berjalan menelusuri tepian pantai, merentangkan tangan, merasakan angin yang bertiup kencang, ku merasa ingin terbang. Terlihat anak-anak remaja berlari kejar-mengejar, penuh tawa, saling goda-menggoda. Hmm, aku tertawa kecil melihatnya. Dari sisi yang sama, terlihat anak kecil sadang bermain layang-layang bersama ayahnya. Dengan sabar sang ayah mengarahkan, membimbing, dia pegang tangan sang anak erat. Mereka menaik, mengulur benang layang-layang. Dan wanita di seberang sana, bersantai di atas kursi pantai, berbaring di bawah payung rumah kecil, Nampak sekali senyum indahnya menatapi tingkah seorang anak dan ayahnya menerbangkan layang-layang, dia sang ibu dari anak itu. Sungguh pemandangan yang indah.
Ku kembali melangkahkan kaki, ku seret-seret setiap pasir yang ku lewati. Lembut, halus, dan putih. Indah. Langkahku terhenti, ku lihat seorang gadis kecil yang duduk manis di tebing beton pinggiran pantai, kakinya setengah masuk ke air, ombak hilir-mudik menerpa pelan. Ku hampiri dia.
“hai dik, boleh ikut duduk?” ku rendahkan kepalaku dan berjongkok.
Dia menoleh ke arahku, tersenyum dan mengangguk.
Akupun tersenyum dan memposisikan diriku sepertinya, duduk berdua. “Adik sendirian?” Dia hanya mengangguk.
Kakak temani ya?” aku tersenyum, diapun membalas senyumanku.
 Lama kami hanya berdiam disana, memandangi luasnya lautan, menyaksikan perahu-perahu wisata berlalu lalang, menikmati sambaran ombak di kaki, dan menikmati semilirnya angin yang sepoi. Dia, si gadis kecil itu nampak tenang.
 Dik, indah ya pantai ini? Pasirnya putih, airnya jernih, lingkungannya bersih” ku mulai mengajaknya bicara. Dia hanya tersenyum, tak menjawab.
“Kakak lihat, adik betah sekali duduk disini, bahkan daritadi dengan posisi yang sama” aku melanjutkan bicara. Dia kembali tersenyum, kali ini lebih lebar, menarik bibirnya ke belakang dan nampak jelas lesung dipipinya, dia menyibak-nyibakkan air di kakinya, dan masih tak bicara. Akupun ikut terbawa olehnya, ku tersihir oleh senyumnya yang menawan, senyum keceriaan. Ku ikut tertawa kecil, menyibakkan juga air di kakiku yang terkena ombak. Ku  terdiam kembali. Suasana hening lagi diantara kami. Hanya terdengar teriakan dan gelak tawa dari pengunjung pantai lainnya.
“Rin, pulang yuk,,,” tiba-tiba ada seorang laki-laki di belakang kami dan menyentuh bahu gadis kecil di sampingku. Gadis kecil itupun bangkit, mengangguk dan tersenyum. Akupun ikut berdiri dari posisi dudukku. Laki-laki itu berjongkok menyamai tinggi gadis kecil, memegang bahunya dan dengan lembut laki-laki itu bicara kepada gadis kecil sambil membelai rambutnya “Rin, maafin kakak ya, membuatmu lama menunggu”. Gadis itu hanya tersenyum memandangi laki-laki itu. Lalu si gadis memainkan tangannya, suatu isyarat, gerakan tangannya menggambarkan suatu kalimat, itu caranya berkomunikasi pada laki-laki itu, aku tak mengerti. Kemudian laki-laki itu berdiri, melihatku dan memberi senyuman, “hai, nama saya Rudi, saya  kakaknya Rina” dia mengulurkan tangan. Aku menjabatnya, “saya Eki” aku membalas senyumnya. “terima kasih ya, kamu sudah menemani adik saya, maaf jika dia hanya diam saja” Rudi memandang ke adiknya. Aku tersenyum “ iya, tidak apa-apa”. Jelas sekali ada makna yang tersirat dari sebuah kalimat “hanya diam saja”, aku tak mau bertanya perihal itu. Seharusnya aku menyadari bahwa gadis yang sedari tadi ku temani tak dapat bicara. Aku merasa bersalah karena banyak bicara ketika bersamanya.
Gadis kecil itu menarik-narik bajuku, memberikan isyarat kepadaku, aku tak mengerti. “dia bilang terimakasih sudah mau duduk bersama dia” Rudi menjelaskan. Aku tersenyum, berjongkok menyamai tingginya, “iya, sama-sama adik manis, kakak senang bisa duduk sama kamu disini” aku mencubit kedua pipinya, gemas. Aku kembali berdiri. “yuk Rin, kita pulang, sudah sore, nanti dicariin Mama” Rudi menggandeng tangan mungil adiknya. Rina mengangguk. “kami pulang dulu ya Ki, sekali lagi terimakasih” Rudi pamit. “iya, sama-sama” aku menjawab. Mereka pun berlalu pergi, sesekali Rina melambaikan tangan padaku, “haatiii-haaatiiii yaaaa, saammmpaaii juummpaaa” aku melambaikan tangan, berteriak. Rina tersenyum, kakaknya meoleh melambaikan tangan. Akupun tersenyum menurunkan lambaianku, memandangi punggung mereka berlalu.
Aku masih terdiam di tempat itu, tempat dimana aku bersama Rina si gadis tunawicara nan cantik, ku nikmati sunset sore hari yang indah, duduk bersantai dengan kedua tangan sebagai penyangga dibelakang, kakiku ku biarkan menyibak-nyibak halus ombak yang datang ke tepian. Suara pantai sudah mulai menyepi, satu persatu kaki-kaki para pengunjung mulai menghilang di segala arah, pulang. Akupun tak ingin tetap disini, ku beranjak berdiri, mengibaskandebu-debu di bajuku, dan melangkah pergi dari tempat itu.
Aku mulai membuka mata perlahan.
“udah ngayalnya?” heih, tiba-tiba suara Imel mengagetkanku.
“ah Lu, ngagetin Gue aja” mempertegak posisi dudukku dan menyerutup teh yang ku letakkan di meja.
Imel adalah tetangga sebelah rumahku, selain itu, dia juga temen baikku sejak aku pindah di rumah ini 2 tahun lalu. Kita masih kelas 2 SMA di sekolah yang sama namun di kelas yang berbeda.
 “nah loh, kok kosong??” aku melihat isi cangkir yang ku sadari sudah kosong saat ku menyeruputnya.
“hehe, salah siapa teh secangkir ditinggal merem, ya Gue embat aja, hahaha” saut Imel.
 “ ah Lu, Mel” aku meletakkan kembali cangkir ke meja. “lagian sejak kapan Lu ada disini” aku melanjutkan.
“sejak Lu merem sambil ketawa-ketiwi sendiri. Hehe” ledek Imel.
 “Isshhh” aku sebal.
“lagian Lu sih, dipanggil-panggil enggak nyaut-nyaut, ya udah, Gue nylonong aja. Ternyata Elunya lagi merem di belakang” kata Imel
“hehe, sorry, Gue enggak denger” kataku nyengir
“udah biasa kali” Imel nyeletuk, mengambil majalah di meja. “hobby banget sih ngehayal? Apa enaknya juga??” dia melanjutkan.
“hehe, ngehayal tuh enak tau, membiarkan imajinasi melayang bebas, disana kita bisa jadi apa aja yang kita inginkan, mau terbang? Bisa, mau renang? Bisa, hehe” aku menatapnya, menyindir Imel yang tidak bisa renang.
“ih, apaan..” Imel sebal
“hehe, dengan menghayal kita bisa jadi apa aja Mel, enggak ada batasan” aku melanjutkan.
“hmmm,,, iya deh, iyaa “ jawab Imel sambil membolak-balik majalah.
“tapi, kalo ngayal ya harus bisa membawa diri mel” tambahku
“membawa diri gimana?” jawab Imel yang masih menatap ke majalah
“ya harus bisa membedakan, mana dunia nyata, mana dunia khayal, kalo Lu enggak bisa bawa diri, nyampur tuh dunia khayal ke dunia nyata, yang ada malah suka berandai-andai. Contohnya, kalo Lu lagi ada masalah, bukannya cepetan nyelesein tapi malah cuma berandai-andai aja, andai ini lah, andai itu lah, bla bla bla.... kan enggak bakal kelar tuh masalah. Meskipun berkhayal itu tidak ada batasan, tapi itu hanya berlaku dalam dunia khayal, enggak berlaku di dunia nyata”. Aku menjelaskan.
“ooohh,, begitu,,” jawab Imel singkat, dan masih memperhatikan majalah di tangannya.
“ah Lu, Mel, percuma Gue ngomong panjang kali lebar sama dengan luas, elunya malah enggak merhatiin”. Kataku sebal
“Gue masih bisa denger kok, hehe” Imel ngeles
“udah ah, Gue mau mandi” aku bangkit dari kursi dan menyambar majalah di tangan Imel.
“yah, yah, yah.... Gue belum kelar Ki bacanya, lagi seru tuh” Imel mencoba menahan majalah.
“boddoo,,, weeekkk” aku meledek. “udah sono pulang, mandi, belum mandi kok udah maen ke rumah orang, bau tuh,, haha” aku melanjutkan sambil berjalan meninggalkan Imel.
“yeee,, biarin, kan masih tetep cantik,,, haha” jawab Imel
Perbincangan pun berakhir, aku mandi dan Imel entah kemana perginya.