Selasa, 25 Februari 2014

Tentang Hayalan


Pagi yang begitu indah, dengan langit yang membiru cerah, matahari tersenyum sumringah dan angin pun bertiup sepoi penuh gairah. Ku langkahkan kakiku menuju kursi di belakang rumah, ku duduk bersantai disana, menikmati sejuknya aroma pagi dengan secangkir teh panas. Ku letakkan teh dan majalah di atas meja di sebelahku. Ku mulai memejamkan mata perlahan.
Ku berjalan menelusuri tepian pantai, merentangkan tangan, merasakan angin yang bertiup kencang, ku merasa ingin terbang. Terlihat anak-anak remaja berlari kejar-mengejar, penuh tawa, saling goda-menggoda. Hmm, aku tertawa kecil melihatnya. Dari sisi yang sama, terlihat anak kecil sadang bermain layang-layang bersama ayahnya. Dengan sabar sang ayah mengarahkan, membimbing, dia pegang tangan sang anak erat. Mereka menaik, mengulur benang layang-layang. Dan wanita di seberang sana, bersantai di atas kursi pantai, berbaring di bawah payung rumah kecil, Nampak sekali senyum indahnya menatapi tingkah seorang anak dan ayahnya menerbangkan layang-layang, dia sang ibu dari anak itu. Sungguh pemandangan yang indah.
Ku kembali melangkahkan kaki, ku seret-seret setiap pasir yang ku lewati. Lembut, halus, dan putih. Indah. Langkahku terhenti, ku lihat seorang gadis kecil yang duduk manis di tebing beton pinggiran pantai, kakinya setengah masuk ke air, ombak hilir-mudik menerpa pelan. Ku hampiri dia.
“hai dik, boleh ikut duduk?” ku rendahkan kepalaku dan berjongkok.
Dia menoleh ke arahku, tersenyum dan mengangguk.
Akupun tersenyum dan memposisikan diriku sepertinya, duduk berdua. “Adik sendirian?” Dia hanya mengangguk.
Kakak temani ya?” aku tersenyum, diapun membalas senyumanku.
 Lama kami hanya berdiam disana, memandangi luasnya lautan, menyaksikan perahu-perahu wisata berlalu lalang, menikmati sambaran ombak di kaki, dan menikmati semilirnya angin yang sepoi. Dia, si gadis kecil itu nampak tenang.
 Dik, indah ya pantai ini? Pasirnya putih, airnya jernih, lingkungannya bersih” ku mulai mengajaknya bicara. Dia hanya tersenyum, tak menjawab.
“Kakak lihat, adik betah sekali duduk disini, bahkan daritadi dengan posisi yang sama” aku melanjutkan bicara. Dia kembali tersenyum, kali ini lebih lebar, menarik bibirnya ke belakang dan nampak jelas lesung dipipinya, dia menyibak-nyibakkan air di kakinya, dan masih tak bicara. Akupun ikut terbawa olehnya, ku tersihir oleh senyumnya yang menawan, senyum keceriaan. Ku ikut tertawa kecil, menyibakkan juga air di kakiku yang terkena ombak. Ku  terdiam kembali. Suasana hening lagi diantara kami. Hanya terdengar teriakan dan gelak tawa dari pengunjung pantai lainnya.
“Rin, pulang yuk,,,” tiba-tiba ada seorang laki-laki di belakang kami dan menyentuh bahu gadis kecil di sampingku. Gadis kecil itupun bangkit, mengangguk dan tersenyum. Akupun ikut berdiri dari posisi dudukku. Laki-laki itu berjongkok menyamai tinggi gadis kecil, memegang bahunya dan dengan lembut laki-laki itu bicara kepada gadis kecil sambil membelai rambutnya “Rin, maafin kakak ya, membuatmu lama menunggu”. Gadis itu hanya tersenyum memandangi laki-laki itu. Lalu si gadis memainkan tangannya, suatu isyarat, gerakan tangannya menggambarkan suatu kalimat, itu caranya berkomunikasi pada laki-laki itu, aku tak mengerti. Kemudian laki-laki itu berdiri, melihatku dan memberi senyuman, “hai, nama saya Rudi, saya  kakaknya Rina” dia mengulurkan tangan. Aku menjabatnya, “saya Eki” aku membalas senyumnya. “terima kasih ya, kamu sudah menemani adik saya, maaf jika dia hanya diam saja” Rudi memandang ke adiknya. Aku tersenyum “ iya, tidak apa-apa”. Jelas sekali ada makna yang tersirat dari sebuah kalimat “hanya diam saja”, aku tak mau bertanya perihal itu. Seharusnya aku menyadari bahwa gadis yang sedari tadi ku temani tak dapat bicara. Aku merasa bersalah karena banyak bicara ketika bersamanya.
Gadis kecil itu menarik-narik bajuku, memberikan isyarat kepadaku, aku tak mengerti. “dia bilang terimakasih sudah mau duduk bersama dia” Rudi menjelaskan. Aku tersenyum, berjongkok menyamai tingginya, “iya, sama-sama adik manis, kakak senang bisa duduk sama kamu disini” aku mencubit kedua pipinya, gemas. Aku kembali berdiri. “yuk Rin, kita pulang, sudah sore, nanti dicariin Mama” Rudi menggandeng tangan mungil adiknya. Rina mengangguk. “kami pulang dulu ya Ki, sekali lagi terimakasih” Rudi pamit. “iya, sama-sama” aku menjawab. Mereka pun berlalu pergi, sesekali Rina melambaikan tangan padaku, “haatiii-haaatiiii yaaaa, saammmpaaii juummpaaa” aku melambaikan tangan, berteriak. Rina tersenyum, kakaknya meoleh melambaikan tangan. Akupun tersenyum menurunkan lambaianku, memandangi punggung mereka berlalu.
Aku masih terdiam di tempat itu, tempat dimana aku bersama Rina si gadis tunawicara nan cantik, ku nikmati sunset sore hari yang indah, duduk bersantai dengan kedua tangan sebagai penyangga dibelakang, kakiku ku biarkan menyibak-nyibak halus ombak yang datang ke tepian. Suara pantai sudah mulai menyepi, satu persatu kaki-kaki para pengunjung mulai menghilang di segala arah, pulang. Akupun tak ingin tetap disini, ku beranjak berdiri, mengibaskandebu-debu di bajuku, dan melangkah pergi dari tempat itu.
Aku mulai membuka mata perlahan.
“udah ngayalnya?” heih, tiba-tiba suara Imel mengagetkanku.
“ah Lu, ngagetin Gue aja” mempertegak posisi dudukku dan menyerutup teh yang ku letakkan di meja.
Imel adalah tetangga sebelah rumahku, selain itu, dia juga temen baikku sejak aku pindah di rumah ini 2 tahun lalu. Kita masih kelas 2 SMA di sekolah yang sama namun di kelas yang berbeda.
 “nah loh, kok kosong??” aku melihat isi cangkir yang ku sadari sudah kosong saat ku menyeruputnya.
“hehe, salah siapa teh secangkir ditinggal merem, ya Gue embat aja, hahaha” saut Imel.
 “ ah Lu, Mel” aku meletakkan kembali cangkir ke meja. “lagian sejak kapan Lu ada disini” aku melanjutkan.
“sejak Lu merem sambil ketawa-ketiwi sendiri. Hehe” ledek Imel.
 “Isshhh” aku sebal.
“lagian Lu sih, dipanggil-panggil enggak nyaut-nyaut, ya udah, Gue nylonong aja. Ternyata Elunya lagi merem di belakang” kata Imel
“hehe, sorry, Gue enggak denger” kataku nyengir
“udah biasa kali” Imel nyeletuk, mengambil majalah di meja. “hobby banget sih ngehayal? Apa enaknya juga??” dia melanjutkan.
“hehe, ngehayal tuh enak tau, membiarkan imajinasi melayang bebas, disana kita bisa jadi apa aja yang kita inginkan, mau terbang? Bisa, mau renang? Bisa, hehe” aku menatapnya, menyindir Imel yang tidak bisa renang.
“ih, apaan..” Imel sebal
“hehe, dengan menghayal kita bisa jadi apa aja Mel, enggak ada batasan” aku melanjutkan.
“hmmm,,, iya deh, iyaa “ jawab Imel sambil membolak-balik majalah.
“tapi, kalo ngayal ya harus bisa membawa diri mel” tambahku
“membawa diri gimana?” jawab Imel yang masih menatap ke majalah
“ya harus bisa membedakan, mana dunia nyata, mana dunia khayal, kalo Lu enggak bisa bawa diri, nyampur tuh dunia khayal ke dunia nyata, yang ada malah suka berandai-andai. Contohnya, kalo Lu lagi ada masalah, bukannya cepetan nyelesein tapi malah cuma berandai-andai aja, andai ini lah, andai itu lah, bla bla bla.... kan enggak bakal kelar tuh masalah. Meskipun berkhayal itu tidak ada batasan, tapi itu hanya berlaku dalam dunia khayal, enggak berlaku di dunia nyata”. Aku menjelaskan.
“ooohh,, begitu,,” jawab Imel singkat, dan masih memperhatikan majalah di tangannya.
“ah Lu, Mel, percuma Gue ngomong panjang kali lebar sama dengan luas, elunya malah enggak merhatiin”. Kataku sebal
“Gue masih bisa denger kok, hehe” Imel ngeles
“udah ah, Gue mau mandi” aku bangkit dari kursi dan menyambar majalah di tangan Imel.
“yah, yah, yah.... Gue belum kelar Ki bacanya, lagi seru tuh” Imel mencoba menahan majalah.
“boddoo,,, weeekkk” aku meledek. “udah sono pulang, mandi, belum mandi kok udah maen ke rumah orang, bau tuh,, haha” aku melanjutkan sambil berjalan meninggalkan Imel.
“yeee,, biarin, kan masih tetep cantik,,, haha” jawab Imel
Perbincangan pun berakhir, aku mandi dan Imel entah kemana perginya. 
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar