Aliran-Aliran atau Teori-Teori dalam Pendidikan
( Nativisme,
Empirisme, dan Konvergensi )
MAKALAH
Disususn Guna Memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ilmu
Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Lift
Anis M. Hj. M.Ag
Oleh:
Dawi Zulfa Amalia (123911041)
Dina Fitriyani (123911042)
Dwi Mahmudah (123911043)
Eka Elfrida Dinda Famila (123911044)
Elwin
Maftukhah (123911045)
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Gagasan
dan pelaksanaan pendidikan selalu dinamis dan sesuai dengan dinamika manusia
dan masyarakatnya. Sejalan dengan hal itu, pendidikan memiliki nuansa berbeda
antara satu daerah dengan daerah lain, sehingga banyak bermunculan
pemikiran-pemikiran yang dianggap sebagai penyesuaian proses pendidikan dengan kebutuhan yang diperlukan.
Pemikiran-pemikiran yang membawa pembaruan pendidikan itu disebut aliran-aliran
pendidikan.Pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran penting dalam pendidikan akan
membekali tenaga kependidikan dengan wawasan kesejarahan, yakni kemampuan
memahami kaitan antara pengalaman-pengalaman masa lampau, tuntutan dan
kebutuhan masa kini, serta perkiraan atau antisipasi masa datang.Oleh karena
itu, setiap calon tenaga kependidikan harus memahami berbagai aliran-aliran itu
agar dapat menangkap makna dari setiap dinamika pemikiran-pemikiran dalam
pendidikan itu. Disini pemakalah akan mencoba menerangkan tentang beberapa
macam aliran pendidikan, yaitu aliran
Nativisme, Empirisme, dan Konvergensi.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Apa
yang dimaksud aliran nativisme?
B. Apa
yang dimaksud aliran empirisme?
C. Apa
yang dimaksud aliran konvergensi?
III. PEMBAHASAN
A. Nativisme
Istilah
nativisme berasal dari kata natie yang artinya adalah terlahir. Aliran Nativisme
bertolak dari Leibnitzian Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak,
sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor prndidikan, kurang berpengaruh
terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah
diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan
kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak.[1]
Tokoh
aliran Nativisme adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860), dia adalah seorang
filsuf yang berkebangsaan Jerman yang sangat dikenal sebagai orang yang pesimis
dan pemahamannya terhadap realitas sebagai yang tidak masuk akal.Dia
berpendapat bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrat dari kelahiran, yang
tidak dapat diubah oleh alam sekitar atau atau pendidikan itulah pribadi
seseorang, bukan hasil pendidikan. Tanpa potensi hereditas yang baik, seseorang tidak mungkin mencapai taraf yang dikehendaki, meskipun dididik dengan
maksimal.[2]Dengan
demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu
sendiri. Nativisme berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia
akan menjadi jahat, dan sebaliknya, jika anak memiliki bakat baik, ia akan
menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak
akan berguna bagi perkembangan anak itu
sendiri.[3]
Contoh
dari pandangan nativisme adalah anak mirip orang tuanya secara fisik dan akan
mewarisi sifat dan bakat orangtuanya. Misalnya, seorang anak yang berasal dari
keluarga ahli seni musik, maka anak tersebut akan berkembang menjadi seniman
musik yag mungkin melebihi kemampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai
pada setengah kemampuan orangtuanya.
Bertolak
dari pemikiran diatas, maka konsep pendidikan Schopenhauer dapat dikemukakan
lebih lanjut senagai berikut:
Pertama,
berkaitan
dengan mendidik. Menurutnya, mendidik adalah tidak lain dari membiarkan anak
tumbuh berdasarkan pembawaannya. Berhasil tidaknya pendidikan tersebut,
bergantung kepada tinggi rendahnya jenis pembawaan yang dimiliki anak.
Pendidikan menurut aliran ini tidak memiliki kekuatan sama sekali. Dengan
demikian, aliran nativisme ini termasuk yang bersifat pesimistis dalam
memandang pendidikan, yakni bahwa pendidikan tersebut sebagai yang tidak ada
nilainya.
Jika
pandangan kaum nativisme tersebut dihubungkan dengan ajaran islam tampak bahwa
ajaran tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima. Islam mengakui bahwa setiap
manusia memiliki kemampuan jasmani, akal, dan rohani yang dibawanya sejak
lahir.Namun, berbagai kemampuan tersebut tidak dapat dengan sendirinya tumbuh
dan berkembang jika tidak dilakukan pembinaan.Kemampuan tersebut baru merupakan
potensi atau bahan yang masih harus dibentuk.[4]Tentang
adanya potensi yang harus dikembangkan dan dibina ini dapat dipahami dari ayat
yang artinya: ‘dan Allah mengeluarkan
kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia
memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS.
Al-Nahl, 16:78).
B. Empirisme
Aliran
Empirisme atau aliran yang berdasarkan pada pengalaman bertolak dari Lockean Tradition yang mementingkan
stimulasi eksternal dalam perkmbangan manusia, dan menyatakan bahwa
perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak
dipentingkan.Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari di
didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulant-stimulan.Stimulasi ini
berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk
program pendidikan.[5]
Aliran ini sangan berlawanan dengan aliran nativisme yang beranggapan bahwa perkembangan manusia
tergantung pada faktor bawaan(keturunan) dan bukan dari lingkungan.
Seorang
filsuf Inggris bernama John Locke (1632-1704) mengembangkan sebuah teori yang
disebut dengan Teori “Tabula Rasa”
yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke dunia seperti kertas kosong (putih)
atau meja berlapis lilin yang belum ada
tulisan di atasnya. Oleh karena itu, kertas kosong tersebut dapat ditulisi
sekehendak hati yang menulisnya, dan lingkungan itulah yang menulis kertas
kosong tersebut.Menurut teori ini, kepribadian didasarkan pada lingkungan
pendidikan yang didapatinya atau perkembangan jiwa seseorang semata-mata
bergantung kepada pendidikan.[6]
Misalnya,
ada dua anak lahir kembar, dan dari kecil mereka dipisahkan dan dibesarkan pada
lingkungan yang berbeda.Satu dari mereka dididik oleh keluarga yang kaya raya
dan disekolahkan di sekolah modern, dan yang satu dididik oleh keluarga miskin
di sebuah desa. Ternyata pertumbuhannya tidak sama.
Kelemahan
aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman, sedangkan kemampuan dasar yang
dibawa anak sejak lahir dikesampingkan.Padahal, ada anak yang berbakat dan
berhasil meskipun lingkungan tidak mendukung.[7]
Dalam pandangan Islam, teori empirisme
atau behaviorisme yang dikemukakan John Locke tersebut tidak sepenuhnya
dapat diterima. Islam mengakui bahwa
lingkungan atau pendidikan memiliki pengaruh dalam pembentukan pribadi anak.
Ibn Miskawaih, Ibn Sina, dan al-Ghazali misalnya mendukung paham tersebut. Para
filsuf Islam tersebut misalnya berpendapat, bahwa jika lingkungan atau
pendidikan tidak berpengaruh pada pembentukan pribadi manusia, maka kehadiran
para Nabi menjadi sia-sia.Kenyataa menunjukkan bahwa dengan kedatangan para
Nabi, keadaan masyarakat menjadi berubah dari keadaan yang tersesat menjadi
lurus, dari keadaan berbuat zalim menjadi berbuat baik, dari keadaan bodoh
menjadi pandai, dari keadaan biadab menjadi beradab dan seterusnya. Nabi
Muhammad Saw misalnya menyatakan bahwa ia diutus ke muka bumi ini adalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.
Namun demikian, Islam tidak memutlakkan
peran lingkungan atau pendidikan dan menghilangkan peran hidayah Allah Swt.
Islam memandang bahwa lingkungan tidak sepenuhnya dapat membentuk orang menjadi
baik.Buktinya ada anak seorang Nabi yang tidak menjadi orang yang beriman. Di
dalam Al-Qur’an Allah Swt, menyatakan: sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada
orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk. (QS Al-Qashash, 28:56). Dengan demikian, terlihat dengan jelas
bahwa pemikiran pendidikan empirisme atau behaviorisme tidak sepenuhnya dapat
diterima dalam ajaran Islam.
C. Konvergensi
Aliran
konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat
dalam memahami tumbuh kembang manusia.Karena aliran ini merupakan perpaduan
dari aliran sebelumnya, yaitu nativisme dan empirisme. Seorang tokoh pendidikan
Jerman bernama William Stern (1871-1939) berpendapat bahwa seorang anak
dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk,
sedangkan perkembangan anak selanjunya akan
dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama
berperan penting.[8]
Bakat
yang dibawa anak pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa
adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu.
Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak
yang optimal kalau memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan
untuk mengembangkan itu.
Sebagai
contoh, hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata.Pada anak
manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungannya, anak
berbicara dalam bahasa tertentu.Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam
mengembangkan pembawaan bahasanya. Karena itu tiap anak manusia mula-mula
menggunakan bahasa lingkungannya, misalnya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa
Indonesia, dan sebagainya. Kemampuan satu anak dengan anak yang lain (yang
tinggal dalam lingkungan yang sama) untuk mempelajari bahasa mungkin tidak
sama. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan kuantitas pembawaan dan perbedaan
situasi lingkungan, biarpun lingkungan anak-anak tersebut menggunakan bahasa
yang sama.
Di
kalangan sebagian pemikir Islam ada yang
berpendapat , bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah
ajaran yang mendukung teori konvergensi. Pendapat ini didasarkan pada hadis
Nabi yang artinya: bahwa setiap anak yang
dilahirkan telah membawa fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan
anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.(HR Baihaqi)
Namun
demikian, Islam sesungguhnya lebih tepat dikatakan sebagai penganut paham
konvergensi plus, yakni bahwa keberhasilan pendidikan selain disebabkan karena
usaha manusia, juga karena hidayah dari Allah Swt. Hal ini dapat dipahami dari
QS Al-Waaqi’ah (56) ayat 63-64 yang artinya: maka apakah kamu memerhatikan apa-apa yang kamu tanam? Apakah kamu
menumbuhkannya atau kami yang menumbuhkannya?.Dengan berpegangan ayat
tersebut, maka Islam menganut paham konvergensi plus, atau konvergensi yang
memadukan antara usaha manusia dengan kehendak Tuhan.Hal ini sejalan pula
dengan ideology pendidikan Islam yang bercorak humanism theo-centris, yakni
ideology yang memahami penggabungan antara usaha manusia dan kehendak Tuhan.
IV.
KESIMPULAN
Dari pemaparan
diatas dapat disimpulkan bahwa teori Naivisme adalah semua keberhasilan belajar
dari seseorang tergantung dari dirinya sendiri yang asli di dapat sejak lahir, Nativisme
berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat,
dan sebaliknya, jika anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik.
Sedangkan Empiris mementingkan
stimulasi eksternal dalam perkmbangan manusia, dan menyatakan bahwa
perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak
dipentingkan.
Dan Konvegensi
pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami
tumbuh kembang manusia.
V.
PENUTUP
Syukur
alhamdulillah, makalah kami mengenai aliran-aliran atau teori-teori dalam
pendidikan ( nativisme, empirisme, dan konvergensi ) sebagai ilmu pendidikan
Islam telah kami selesaikan. Berbagai media menjadi sumber pembelajaran kami,
baik buku, inernet, majalah dan media lainnya.
Selain itu, dalam
makalah kami terdapat beberapa contoh, dan hal lain yang juga kami paparkan
adalah pengertian dan penjelasan-penjelesan.
Akhirnya, supaya
kami dalam membuat makalah ini merupakan suatu prestasi tersendiri. Semoga
kehadiran makalah kami menambah pengeahuan ilmu khususnya ilmu pendidikan
islam.
DAFTAR PUSTAKA
Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikan.2008. Jakarta: PT Rineka Cipta
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat. 2012. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. 2009. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
[1]
Prof. Dr. Umar Tirtarahardja, Pengantar
Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008). Hlm. 196
[2]
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA.,Pemikiran
Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012). Hlm.
231
[3]
Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu
Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009). Hlm. 51
[4]Prof.
Dr. H. Abuddin Nata, MA., Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2012). Hlm.234
[5]Prof.
Dr. Umar Tirtarahardja, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008).
Hlm. 194
[6]Prof.
Dr. H. Abuddin Nata, MA., Pemikiran Pendidikan Islam dan Barat, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2012). Hlm.242
[7]Wiji
Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009). Hlm.50
[8]Wiji
Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009). Hlm.
54