
Aku menurunkan novel yang kubaca
dari hadapan mataku “bazar apaan mbak?” .
“Ada buku,
pernik-pernik, pakaian juga ada mbak” Azure menghentikan
kata-katanya sesaat “ada lomba menyanyi juga mbak seingatku”
menambahkan.
“boleh juga, dari
pada kita hanya berdiam di kamar dan nggak jelas kaya’ gini, hehe” kataku sepakat dengan ajakan Azure.
Kamipun
bersiap-siap dulu sebelum berangkat. Aku mengenakan jaket abu-abuku untuk
menutupi kaos pendek berwarna kuning di dalamnya dan ku padukan dengan kerudung
paris berwarna abu-abu yang bagian depannya ku sampirkan ke bahuku secara
berlawanan menandakan kesimple-an,
dengan mengenakan rok panjang berwarna coklat bermotif batik yang lebar di
bagian bawahnya untuk memudahkan aku melangkah. Sedangkan Azure mengenakan rok
panjang berwarna biru toska bermotif bunga dengan kerudung dan kaos panjang
polos senada yang terlihat elegan.
Jarak asrama kami
dengan perpustakaan kampus tak begitu jauh, hanya butuh waktu 5-10 menit untuk
mencapainya dengan jalan kaki.
Sampai di halaman
perpus, aku dan Azure berhenti sejenak menikmati keramaian orang-orang yang
berlalu lalang mencari dan melihat-lihat barang yang mereka cari di bazar. “Cari bando yuk mbak” ajak Azure menarik
tanganku. Tanpa kata aku mengikuti langkah Azure mengelilingi setiap stand yang
ada.
“mbak mbak mbak,,,
kesitu dulu yuk, mau nyari jepit rambut nih,, kaya’e di situ ada” aku menunjuk ke salah satu stand yang berisi banyak
pernak-pernik untuk wanita.
“ayuk ayuk” Azure mengangguk setuju dan kamipun nerjalan menujun stand yang dituju.
“ayuk ayuk” Azure mengangguk setuju dan kamipun nerjalan menujun stand yang dituju.
Sampai di stand
tersebut ternyata hasilnya mengecewakan, tak ada satu barangpun yang mampu
menarik perhatian kami, kamipun memutuskan meninggalkan stand itu dan masuk ke
dalam perpustakaan.
Kami menemukan
suasana yang berbeda di dalam perpus. Seolah terdapat pembeda yang jelas antara
dua dunia, kebisingan dan keheningan. Tak ada suara obrolan dalam perpus, semua
orang telah diperdaya oleh kekuatan magic sang buku. Aku dan Azure berjalan
mengelilingi setiap rak-rak yang berjajar mencari buku yang mungkin bisa
menarik hati kami.
Aku terdiam sesaat
dengan membawa buku yang terbuka ditanganku saat melihat sosok laki-laki dan
perempuan yang ku kenal memasuki perpustakaan “kakak,,,” kataku lirih agak kaget dengan apa yang ku lihat.
“ada apa mbak?” Azure mendekatiku dan menatap dengan heran dua orang yang sedag
aku lihat tanpa berkedip.
“kak Randi mbak,,” ku menjawab dengan ekspresi yang masih sama seperti sebelumnya.
“Randika mbak??” Azure mengalihkan pandanaannya kepdaku “yee,,jangan bengong terus-terusan kaya’ gitu juga kale mbak,,” menepuk pundakku.
Akupun tersadar
dari lamunanku “he’em mbak” ku mengangguk.
“terus, cewek yang
sama dia itu siapa mbak??” Tanya Azure penasaran.
“itu Shofa, teman
kampuse kak Randi” ku jawab dengan santai sambil
meletakkan kembali buku yang ku pegang ke tempatnya. “kaya’e mereka lagi ngembaliiin buku deh” tambahku.
Azure menyikutku “mbak mbak, kakakmu mendekat tuh”.
Aku membalikkan
badan dan Kak Randika sudah ada di depanku “udah
lama disini?” tanyanya sambil menarik satu buku dari rak.
“nggak juga” jawabku singkat.
“mbak, aku ke stand
lomba nyanyi dulu ya??” Azure tersenyum meletakkan bukunya
lalu meninggalkan aku dan kak Randi.
Aku tersenyum “iya mbak, ntar aku nyusul”.
Randika adalah
kakak kelasku sejak Sekolah Dasar dulu, kita mulai dekat saat aku kelas 1 SMA
dan dia kelas 2 di sekolah yang sama. Aku sempat suka padanya, mungkin hingga
saat inipun rasa itu masih ada, namun tak ku biarkan berkembang untuk kebaikan
bersama. Kedekatanku dengannya ku anggap sebagai kedekatan adik dengan kakak,
karena hanya jalan itu yang bisa membuatku mendapat sedikit perhatiannya meski
ku tau dia telah punya kekasih yang ia cinta. Pembawaannya yang tenang dan
menyejukkan, mampu membuatku nyaman setiap ada di dekatnya, begitu pula
kecerdasan otaknya yang selalu menginsipasiku untuk bisa melakukan prestasi
yang ia dapatkan. Aku suka orang cerdas dengan penuh ketenangan.
“loh, mana kak
temenmu yang tadi?” aku memulai percakapan.
“tuh
dipojok rak sana” dia menunjuk salah satu sudut
ruangan. “eh, apa temen-temenmu
kalau berpakaian juga seperti itu? “ menatap ke arahku.
Akupun mengerutkan
dahiku karena tak mengerti dengan pertanyaannya “maksud
kakak??”
“kamu
pilih ganti baju apa aku nggak mau nemuin kamu lagi” kak Randi bicara dengan nada yang agak tinggi, membuat beberapa
orang menoleh kepada kami.
Aku semakin tak
mengerti dengan apa yang dibicarakan Kak Randi kepadaku “aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang kakak bicarakan”
“kamu
tak sadar betapa menantangnya pakaianmu dimata laki-laki nakal?” dia pun mengatakan apa yang di maksudkan.
“hah?? Ini??” kaget dengan yang dia katakana. “dimana coba
letak menantangnya bajuku? Aku pikir ini sudah sopan bagiku” akupun mengatakan argumenku dengan sedikit emosi yang tertahan.
“tapi
aku nggak suka” nadanya menekankan, namun dengan tekanan nada
yang rendah. Lalu dia berbalik dan berjalan mendauhiku.
Akupun mengejarnya
dengan langkah cepatku hingga bisa menghalangi jalan di depannya, dia mencoba
menghindar dan aku selalu mengejar langkah dan menghadangnya. Kami saling
beradu argumen, pembicaraan kami menyita perhatian banyak orang. Kami sadar
akan hal itu, lalu kak Randi menarik tanganku keluar perpustakaan.
“udah, lepasin” aku mengibaskan tanganku dari genggamannya saat kami sampai pad
ataman di sebelah kanan perpus.
Dia melepaskan
tannaannya dari tanganku. “maafkan aku” katanya lirih. “aku hanya
ingin menjagamu, aku tak ingin hal buruk terjadi padamu” dia meneruskan kata-katanya, tatapan matanya yang tajam
menunjukkan kesungguhan.
“tapi caramu
membuatku malu” aku menatapnya dengan sendu dan nada
bicara yang meyakinkan. “tidakkah kau lihat semua mata mengarah
padaku gara-gara sikap kakak yang seperti itu?” aku
menambahkan kalimatku dengan semakin sendu membuat air mata ingin untuk
tertumpahkan.
“udah,,, udaahh,,,
maafin kakak ya?? Kakak udah kelewatan” dia menepuk-nepuk
bahuku dan tersenyum manis.
“selalu begitu,,
seenaknya saja memperlakukanku,,, “ aku menggerutu.
Dia tersenyum dan
melepaskan tangannya dari bahuku, memasukkan tangannya dalam saku celana dan
berjalan di depanku. Aku mengikuti langkahnya dan mengusap wajahku yang mungkin
terdapat berapa tetesan air dari mataku.
Seperti itulah dia,
membuat situasi hatiku jadi tak menentu lalu mendamaikan dengan senyum indah di
paras itu. Aku tak benci padanya, karena ku tau mungkin dia memang ingin yang
terbaik bagiku. Aku tak tau mengapa sikapnya selalu seperti itu, kadang
sedingin salju, kadang kehangat minyak telon adikku.