Minggu, 02 Juni 2013

Bazar Perpus


“Ke perpus yuk mbak, lagi ada bazar juga nih di depn perpus” ajak Azure yang sedari tadi berada di kamar bersamaku.
Aku menurunkan novel yang kubaca dari hadapan mataku “bazar apaan mbak?” .
“Ada buku, pernik-pernik, pakaian juga ada mbak” Azure menghentikan kata-katanya sesaat “ada lomba menyanyi juga mbak seingatku” menambahkan.
“boleh juga, dari pada kita hanya berdiam di kamar dan nggak jelas kaya’ gini, hehe” kataku sepakat dengan ajakan Azure.
Kamipun bersiap-siap dulu sebelum berangkat. Aku mengenakan jaket abu-abuku untuk menutupi kaos pendek berwarna kuning di dalamnya dan ku padukan dengan kerudung paris berwarna abu-abu yang bagian depannya ku sampirkan ke bahuku secara berlawanan menandakan kesimple-an, dengan mengenakan rok panjang berwarna coklat bermotif batik yang lebar di bagian bawahnya untuk memudahkan aku melangkah. Sedangkan Azure mengenakan rok panjang berwarna biru toska bermotif bunga dengan kerudung dan kaos panjang polos senada yang terlihat elegan.
Jarak asrama kami dengan perpustakaan kampus tak begitu jauh, hanya butuh waktu 5-10 menit untuk mencapainya dengan jalan kaki.
Sampai di halaman perpus, aku dan Azure berhenti sejenak menikmati keramaian orang-orang yang berlalu lalang mencari dan melihat-lihat barang yang mereka cari di bazar. “Cari bando yuk mbak” ajak Azure menarik tanganku. Tanpa kata aku mengikuti langkah Azure mengelilingi setiap stand yang ada.
“mbak mbak mbak,,, kesitu dulu yuk, mau nyari jepit rambut nih,, kaya’e di situ ada” aku menunjuk ke salah satu stand yang berisi banyak pernak-pernik untuk wanita.
“ayuk ayuk” Azure mengangguk setuju dan kamipun nerjalan menujun stand yang dituju.
Sampai di stand tersebut ternyata hasilnya mengecewakan, tak ada satu barangpun yang mampu menarik perhatian kami, kamipun memutuskan meninggalkan stand itu dan masuk ke dalam perpustakaan.
Kami menemukan suasana yang berbeda di dalam perpus. Seolah terdapat pembeda yang jelas antara dua dunia, kebisingan dan keheningan. Tak ada suara obrolan dalam perpus, semua orang telah diperdaya oleh kekuatan magic sang buku. Aku dan Azure berjalan mengelilingi setiap rak-rak yang berjajar mencari buku yang mungkin bisa menarik hati kami.
Aku terdiam sesaat dengan membawa buku yang terbuka ditanganku saat melihat sosok laki-laki dan perempuan yang ku kenal memasuki perpustakaan “kakak,,,” kataku lirih agak kaget dengan apa yang ku lihat.
“ada apa mbak?” Azure mendekatiku dan menatap dengan heran dua orang yang sedag aku lihat tanpa berkedip.
“kak Randi mbak,,” ku menjawab dengan ekspresi yang masih sama seperti sebelumnya.
“Randika mbak??” Azure mengalihkan pandanaannya kepdaku “yee,,jangan bengong terus-terusan kaya’ gitu juga kale mbak,,” menepuk pundakku.
Akupun tersadar dari lamunanku “he’em mbak” ku mengangguk.
“terus, cewek yang sama dia itu siapa mbak??” Tanya Azure penasaran.
“itu Shofa, teman kampuse kak Randi” ku jawab dengan santai sambil meletakkan kembali buku yang ku pegang ke tempatnya. “kaya’e mereka lagi ngembaliiin buku deh” tambahku.
Azure menyikutku “mbak mbak, kakakmu mendekat tuh”.
Aku membalikkan badan dan Kak Randika sudah ada di depanku “udah lama disini?” tanyanya sambil menarik satu buku dari rak.
“nggak juga” jawabku singkat.
“mbak, aku ke stand lomba nyanyi dulu ya??” Azure tersenyum meletakkan bukunya lalu meninggalkan aku dan kak Randi.
Aku tersenyum “iya mbak, ntar aku nyusul”.
Randika adalah kakak kelasku sejak Sekolah Dasar dulu, kita mulai dekat saat aku kelas 1 SMA dan dia kelas 2 di sekolah yang sama. Aku sempat suka padanya, mungkin hingga saat inipun rasa itu masih ada, namun tak ku biarkan berkembang untuk kebaikan bersama. Kedekatanku dengannya ku anggap sebagai kedekatan adik dengan kakak, karena hanya jalan itu yang bisa membuatku mendapat sedikit perhatiannya meski ku tau dia telah punya kekasih yang ia cinta. Pembawaannya yang tenang dan menyejukkan, mampu membuatku nyaman setiap ada di dekatnya, begitu pula kecerdasan otaknya yang selalu menginsipasiku untuk bisa melakukan prestasi yang ia dapatkan. Aku suka orang cerdas dengan penuh ketenangan.
“loh, mana kak temenmu yang tadi?” aku memulai percakapan.
“tuh dipojok rak sana” dia menunjuk salah satu sudut ruangan. “eh, apa temen-temenmu kalau berpakaian juga seperti itu? “ menatap ke arahku.
Akupun mengerutkan dahiku karena tak mengerti dengan pertanyaannya “maksud kakak??”
“kamu pilih ganti baju apa aku nggak mau nemuin kamu lagi” kak Randi bicara dengan nada yang agak tinggi, membuat beberapa orang menoleh kepada kami.
Aku semakin tak mengerti dengan apa yang dibicarakan Kak Randi kepadaku “aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang kakak bicarakan”
“kamu tak sadar betapa menantangnya pakaianmu dimata laki-laki nakal?” dia pun mengatakan apa yang di maksudkan.
“hah?? Ini??” kaget dengan yang dia katakana. “dimana coba letak menantangnya bajuku? Aku pikir ini sudah sopan bagiku” akupun mengatakan argumenku dengan sedikit emosi yang tertahan.
“tapi aku nggak suka”  nadanya menekankan, namun dengan tekanan nada yang rendah. Lalu dia berbalik dan berjalan mendauhiku.
Akupun mengejarnya dengan langkah cepatku hingga bisa menghalangi jalan di depannya, dia mencoba menghindar dan aku selalu mengejar langkah dan menghadangnya. Kami saling beradu argumen, pembicaraan kami menyita perhatian banyak orang. Kami sadar akan hal itu, lalu kak Randi menarik tanganku keluar perpustakaan.
“udah, lepasin” aku mengibaskan tanganku dari genggamannya saat kami sampai pad ataman di sebelah kanan perpus.
Dia melepaskan tannaannya dari tanganku. “maafkan aku” katanya lirih. “aku hanya ingin menjagamu, aku tak ingin hal buruk terjadi padamu” dia meneruskan kata-katanya, tatapan matanya yang tajam menunjukkan kesungguhan.
“tapi caramu membuatku malu” aku menatapnya dengan sendu dan nada bicara yang meyakinkan. “tidakkah kau lihat semua mata mengarah padaku gara-gara sikap kakak yang seperti itu?” aku menambahkan kalimatku dengan semakin sendu membuat air mata ingin untuk tertumpahkan.
“udah,,, udaahh,,, maafin kakak ya?? Kakak udah kelewatan” dia menepuk-nepuk bahuku dan tersenyum manis.
“selalu begitu,, seenaknya saja memperlakukanku,,, “ aku menggerutu.
Dia tersenyum dan melepaskan tangannya dari bahuku, memasukkan tangannya dalam saku celana dan berjalan di depanku. Aku mengikuti langkahnya dan mengusap wajahku yang mungkin terdapat berapa tetesan air dari mataku.
Seperti itulah dia, membuat situasi hatiku jadi tak menentu lalu mendamaikan dengan senyum indah di paras itu. Aku tak benci padanya, karena ku tau mungkin dia memang ingin yang terbaik bagiku. Aku tak tau mengapa sikapnya selalu seperti itu, kadang sedingin salju, kadang kehangat minyak telon adikku.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar