Sabtu, 22 Maret 2014

Al-Qur'an Hadits (MEMAHAMI TUJUAN DAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN MEMBACA MATA PELAJARAN AL-QUR’AN & HADITS DI MI)

MEMAHAMI TUJUAN DAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN MEMBACA MATA PELAJARAN AL-QUR’AN & HADITS DI MI
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Pembelajaan Al qur’an dan hadits
Dosen Pengampu: Ikhrom, M. Ag


Disusun Oleh:
1.      Dina Fitriyani                        (123911042)
2.      Kholifah Istiqomah               (123911056)
3.      M. Abu Na’im                       (123911070)

PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALSONGO
SEMARANG
2014


I.                    PENDAHULUAN
Terampil dalam membaca Al-qur’an dan Hadits menjadi kemampuan paling dasar yang harus dikuasai oleh umat islam. Langkah awal untuk lebih mendalami Al-Qur’an dan hadits adalah dengan cara mampu membacanya dengan baik dan benar. Terlebih lagi terhadap Al-Qur’an, karena ibadah penting dalam islam, yakni shalat, membutuhkan keterampilan membaca Al-Qur’an dengan baik. Membaca Al-Qur’an saja sudah bernilai ibadah, maka dari itu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar mempunyai nilai keagamaan yang tinggi. Itulah sebabnya mengapa Al-Qur’an sebagai kitab suci yang dibaca mempunyai peran sentral dalam kehidupan kaum muslimin. Sedangkan peranan hadits yang sebagai penjelas Al-Qur’an akan menjadikan peserta didik lebih memahami makna dari Al-quran.
Dalam pembelajaran membaca Al-Qur’an Hadits ada beberapa pendekan yang digunakan, diantaranya yaitu: pendekatan individu, pendekatan kelompok, pendekatan variasi, pendekatan edukatif, dan lain sebangainya yang akan dibahas lebih mendalam oleh para pemakalah dan akan didiskusikan bersama di bawah ini.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana Tujuan Pembelajaran Membaca Al-Qur’an Hadits?
B.     Pendekatan Apasaja yang Digunakan dalam Pembelajaran Membaca Al-Qur’an Hadits?







  
III.             PEMBAHASAN
A.    Tujuan Pembelajaran Membaca Al-Qur’an Hadits
Membaca Al-Qur’an Hadits menjadi kemampuan paling dasar yang harus dikuasai oleh umat islam. Ayat pertama yang yang diturunkan Allah kepada Nabi Mhammad melalui Malaikat Jibril pun mengandung seruan untuk membaca.
Yang artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”.
Seseorang yang membaca Al qur’an, baik tanpa lagu maupun dilagukan dengan indah dan merdu, tidak boleh terlepas dari kaidah-kaidah tajwid. Tajwid merupakan bentuk masdar dari fi’il madhi “Jawwada” yang berarti membaguskan, menyempurnakan, memantapkan. Menurut istilah, ilmu tajwid adalah ilmu yang berguna untuk mengetahui bagaimana cara memenuhkan / memberikan hak huruf dan mustahaqnya. Baik yang berkaitan dengan sifat, mad, dan sebagainya.[1]
Dari kitab syarh jazariyah dan al-itqan, mengungkap empat cara baca yang tidak diperbolehkan. Pertama, at-tar’id (berguruh) yakni mengguruhkan suara sebagaimana orang yang menggigil kedinginan atau kesakitan. Kedua, at-thartib (kegirangan) merupakan lawan dari yang pertama, membaca dengan “mendendang” hingga melalaikan yang seharusnya dibaca pendek-dipanjangkan atau sebaliknya karena gramatika bahasa Arab tidak pernah membolehkannya. Ketiga, at-tahzin (ekspresi sedih), kurangnya menghayati sisi dalam Al-Qur’an. Keempat, at-tarqish (menari-nari/banyak gerak) hendaknya membaca dengan diam dan menghayati. Melihat kondisi tersebut,  tidaklah salah jika ibnu Al-jaziri menghukumi wajib untuk menerapkan ilmu tajwid dalam membaca Al-Qur’an demi menjaga keagungan kitab suci selain menjadi kitab yang ditafsirkan juga kitab yang dibaca.
Istilah-istilah yang digunakan untuk menunjukkan ilmu pembacaan Al-Quran cukup banyak. Selain tajwid, terdapat beberapa istilah lain yang lazim digunakan untuk merujuk ilmu spesifik pembacaan Al-Qur’an.
1.      Tartil (ترتيل) berasal dari kata rattala ( رتل), yang berarti “melagukan. Tartil juga mencakup pemahaman tentang tata cara berhenti (waqf) dan meneruskan (washl) dalam pembacaan dan artikulasi yang tepat dalam pembacaan huruf-huruf hijaiyah. Dalam perkembangannya saat ini, istilah tersebut tidak hanya merupakan suatu istilah umum untuk pembacaan Al-Qur’an, tetapi juga merujuk kepada pembacaannya secara cermat dan perlahan-lahan.
2.      Tilawah ( تلاوة ), berasal dari kata talaaتلى ), yang berarti membaca secara tenang, berimbang dan menyenangkan. Pada masa pra-islam, kata ini digunakan untuk merujuk pembacaan syair. Pembacaan semacam ini mencakup cara sederhana pendengungan atau pelaguan.
3.      Qira’ah,  (قراءة), berasal dari kata (قرا), yang berarti “membaca” yang mesti dibedakan penggunaannya untuk merujuk pada istilah yang berarti keragaman menmbaca Al-Qur’an. Disini pembacaan Al-Qur’an mencakup hal-hal yang ada dalam istilah-istilah lain, seperti tinggi rendahnya nada, penekanan pada pola-pola durasi  bacaan dan lain-lain.
Dengan demikian, jelas terlihat begitu pentingnya kemampuan membaca Al-Qur’an dan hadits bagi ummat islam. Kemampuan ini akan terasah dengan baik jika telah dimulai sejak dini. Anak-anak usia Madrasah Ibtidaiyah adalah usia yang baik untuk menananamkan kemampuan membaca Al-Qur’an dan hadits. Untuk itu perlu dirumuskan tujuan pembelajaran yang jelas dalam proses pendidikannya. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada anak didik bahwa mampu membaca Al-Qur’an dan hadits dengan baik merupakan hal yang penting dalam ajaran islam.
Dengan mengikuti tiga tujuan pembelajaran, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir (2008), maka pembelajaran membaca Al-Qur’an dan hadits secara terpisah, adalah :
1.        Pembelajaran Membaca Al-Qur’an bertujuan :
a.       Aspek Pengetahuan (knowing)
Dalam hal ini, murid memiliki pengetahuan mengenai  kewajiban seorang muslim untuk menguasai keterampilan membaca Al-Qur’an. Karena langkah awal untuk memahami Al-qur’an adalah dengan cara mampu membaca Al-Qur’an menjadi pintu pertama untuk menghafalkannya, karena hafalan al-qur’an dengan bacaan yang benar menjadi syarat dalam ibadah shalat. Bahkan murid juga memiliki pengetahuan bahwa membaca Al-Qur’an menjadi bagian dari ibadah.
Setelah peserta didik memiliki pengetahuan mengenai pentingnya kemampuan membaca Al-Qur’an, kondisi ini dilanjutkan dengan memberikan pengetahuan bahwa Al-Qur’an itu dinarasikan dalam bahasa arab yang memiliki norma, kaidah dan aturan-aturan tersendiri dalam membacanya. Misalnya yang paling dasar adalah membaca Al-Qur’an dan hadits dimulai dari arah sebelah kanan ke kiri. Pada tahap selanjutnya guru juga perlu memberikan pengetahuan bahwa ilmu tajwid adalah bagian dari cabang ilmu yang dapat membantu seseorang untuk membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Tentu saja dalam penyampaiannya harus dengan cara bertahap. Untuk ilmu tajwid saja tidak semua cabangnya diberikan kepada sisiwa MI. dengan demikian dibutuhkan kesabaran dan keteladanan dari guru untuk mengarahkan dan mendidik siswanya. Karena pada aspek knowing ini guru harus benar-benar yakin bahwa semua murid telah mengetahui apa yang telah dipelajarinya. Untuk mencapai tujuan ini, guru dapat memilih metode ceramah, tanya jawab, dan demonstrasi.
b.      Aspek Pelaksanaan (Doing)
Dalam hal ini pelaksanaan yang di maksud adalah peserta didik terampil dalam membaca ayat-ayat dari surat-surat tertentu dalam juz ‘amma yang menjadi materi pelajaran. Untuk mencapai tujuan ini metode yang dapat digunakan adalah demonstrasi.
Setelah para siswa satu kelas dirasa mampu melafalkan secara bersama-sama, guru dapat melakukan pengujian dengan menilai pelafalan para siswa satu persatu.
c.       Aspek Pembiasaan  (being)
Keterampilan dalam melafalkan dan membaca Al-Qur’an itu tidak hanya sekedar untuk diketahui tetapi juga menjadi miliknya dan menyatu dengan kepribadiannya. Dalam contoh di atas, setelah siswa benar-benar terampil dalam membaca Al-qur’an, maka setiap ia hendak membaca Al-Qur’an maka dimulai dengan Al-Fatihah. Terlebih lagi dalam berbagai kesempatan ia gemar untuk membaca Al-Fatihah. Hal yang sama juga terjadi pada surat-surat lain yang telah dipelajarinya.
Untuk menjaga agar pelafalan dan pembacaan murid terhadap surat-surat tetap baik, maka perlu untuk melakukan pembiasaan. Beberapa teknik yang dapat dilakukan misalnya :
1)      Shalat berjamaah
Pelaksanaan shalat berjamaah ini dapat dilakukan sebatas contoh. Kegiatan belajar seperti ini dapat dilakukan dikelas, guru mendemonstrasikan gerakan shalat yang dibarengi dengan pelafalan ayat-ayat dari surat tertentu, yang diikuti oleh siswa.
2)      Membaca Al-Qur’an berjamaah
Langkah pembiasaan untuk melatih keterampilan melafalkan dan membaca surat tertentu dalam juz ‘amma ini adalah dengan melafalkan, bahkan untuk tahap yang lebih tinggi dengan membaca teksnya yang berbahasa Arab, terhadap Al-Qur’an secara bersama-sama. Hal ini diulang beberapa kali dalam satu pertemuan sampai guru yakin para siswa mampu melakukannya. Guru tidak boleh melanjutkan materi untuk melafalkan dan membaca surat selanjutnya, jika para siswa belum benar-benar terampil melafalkan dan membaca surat yang dipelajari tersebut.
3)      Perlombaan
Perlombaan yang dapat dilakukan seperti perlombaan ketangkasan dalam melafalkan atau membaca surat-surat tertentu dalam juz ‘amma. Atau bisa juga dengan guru membagi murid kelas menjadi empat kelompok untuk saling unjuk kebolehan dalam melafalkan dan membaca surat.
2.        Pembelajaran membaca Hadits bertujuan :
a.       Aspek pengetahuan (knowing)
Hadits bagi ummat islam juga memiliki peran yang sangat penting. Sebagai sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an, hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an. Hadits juga berisi tuntunan-tuntunan yang dilakukan oleh Rasul SAW. untuk diikuti oleh umat islam. Pengetahuan semacam inilah yang menjadi landasan awal untuk diajarkan kepada murid. Hadits-hadits yang akan dipelajari oleh murid didasarkan pada tema-tema tertentu. Misalnya, kebersihan, hormat kepada orang tua, persaudaraan dan lain sebagainya. Dengan demikian, setelah menjelaskan fungsi dan kedudukan hadits bagi umat islam, adalah dengan memberikan pengetahuan berdasarkan tema hadits yang akan diajarkan. Misalnya tema tentang kebersihan, maka guru menjelaskan berbagai aspek yang berkenaan dengan kebersihan.
b.      Aspek Pelaksanaan (doing)
Setelah aspek knowing dikuasai, langkah selanjutnya adalah pelaksanaan dari pengetahuan yang ia peroleh. Terampil dalam melafalkan dan membaca teks Arab dari hadits yang menjadi materi pelajaran adalah tujuan pembelajaran aspek doing. Dalam pelaksanaannya guru dapat memilih metode audiolingual, misalnya, berdasarkan pendekatan struktural, mengajarkan melafalkan dan membaca hadits dengan mencurahkan perhatian pada kata dan latihan berkali-kali secara intensif dari pola-pola kalimat yang terdapat dalam hadits.
c.       Aspek Pembiasaan (being)
Pengetahuan dan keterampilan membaca yang murid kuasai dari hadits yang telah dipelajari, dilanjutkan dengan proses pembiasaan agar apa yang telah ia ketahui dan kuasai tidak dilupakan. Teknik-teknik yang dapat dilakukan adalah :
1)      Membaca Hadits berjamaah
Dalam proses pembelajaran dikenal istilah apersepsi. Guru dapat memanfaatkan sarana ini untuk membaca hadits secara bersama-sama murid satu kelas. Kegiatan ini diulang beberapa kali hingga murid melakukannya tanpa kesalahan. Guru tidak boleh melanjutkan materi hadits selanjutnya, jika para siswa belum benar-benar yakin bahwa hadits yang telah dipelajari telah dikuasai oleh murid.
2)      Karya wisata
Teknik ini dilakukan dengan cara mengajak murid-murid keluar dari ruang kelas. Misalnya mengajak murid berkeliling disekitar lingkungan sekolah, ketika mengajarkan tema hadits kebersihan, guru dapat memberi penjelasan mengenai tema itu. Guru dapat menyisipkan  hadits tentang kebersihan, sambil meminta para murid melafalkannya secara bersama-sama.

B.     Pendekatan yang Digunakan dalam Pembelajaran Membaca Al-Qur’an Hadits.
Secara garis besar, terdapat dua pendekatan dalam kegiatan pembelajaran, sebagaimana yang dikemukakan oleh Roy Killen (1998), pertama yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches), dalam pendekatan ini guru menjadi komponen yang paling menentukan dalam implementasi suatu strategi pembelajaran. Peran guru daam pendekatan ini sangat dominan, guru menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan harapan materi pelajaran yang disampaikan itu dapat dikuasai siswa dengan baik. Fokus utama pendekatan ini adalah kemampuan akademik siswa.[2] Jadi, dalam pembelajaran membaca pada Al-Qur’an Hadits, guru harus bisa menjalin interaksi yang edukatif. Contohnya, dalam penerapannya, seorang guru pertama-tama menyiapkan sebuah teks bacaan berupa slide yang bisa ditampilkan dan dilihat oleh seluruh anak didik, lalu guru tersebut akan membacanya terlebih dahulu, lalu anak didik akan menirukannya. Disini peran media pembelajaran juga diperlukan.
Dalam interaksi edukatif yang berlangsung telah terjadi interaksi yang bertujuan. Interaksi yang bertujuan itu dsebabkan gurulah yang memaknainya dengan menciptakan lingkungan yang bernilai edukatif demi kepentingan anak didik dalam belajar. Guru ingin memberikan layanan yang terbaik kepada anak didik, dengan menyediakan lingkungan yang menyenangkan dan menggairahkan. Guru berusaha menjadi pembimbing yang baik dengan peranan yang arif dan bijaksana, sehingga tercipta hubungan dua arah yang harmonis antara guru dan anak didik. Ketika interaksi edukatif itu berproses, guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan berbuat dan mau memahami anak didiknya dengan segala konsekuensinya.
Dalam mengajar, guru harus pandai menggunakan pendekatan secara arif dan bijaksana, bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik. Pandangan guru terhadap anak didik akan menentukan sikap dan perbuatan. Setiap guru tidak selalu mempunyai pandangan yang sama dalam menilai anak didik. Hal ini akan mempengaruhi pendekatan yang guru ambil dalam pengajaran.[3]
Kedua adalah pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered approaches), dalam pendekatan ini menekankah bahwa setiap siswa yang belajar memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan itu baik dalam hal minat, kemampuan, kesenangan, pengalaman, dan cara belajar. Dilihat dari latar belakang pengetahuan mengenai Al-Qur’an, misalnya, terdapat siswa yang berasal dari keluarga yang disiplin dalam mengenalkan Al-Qur’an sejak dini, dan ada yang biasa-biasa saja, bahkan ada siswa yang sama sekali belum mengenal Al-Qur’an.
Ditinjau dari gaya belajarnya, kalangan pendidik telah menyadari bahwa peserta didik memiliki 3 macam cara belajar, yaitu: belajar dengan cara melihat (visual), belajar dengan cara mendengar (auditorial), dan belajar dengan cara bergerak, bekerja, menyentuh (kinestetik).[4] Banyak ciri-ciri perilaku lain yang merupakan petunjuk kecenderungan belajar peserta didik. Ciri-ciri berikut ini akan membantu peserta didik menyesuaikan dengan modalitas belajar peserta didik yang terbaik.[5]
1.      Visual
a.       Rapi dan teratur
b.      Berbicara dengan cepat
c.       Perencana dan pengatur jangka panjang yang baik
d.      Teliti terhadap detail
e.       Mementingkan penampilan, baik dalam hal pakaian maupun presentasi
f.       Pengeja yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka
g.      Mengingat apa yang dilihat daripada yang didengar
h.      Mengingat dengan asosiasi visual
i.        Biasanya tidak terganggu oleh keributan
j.        Mempunyai masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali minta bantuan orang untuk mengulanginya
k.      Pembaca cepat dan tekun
l.        Lebih suka membaca daripada dibacakan
m.    Membutuhkan pandangan dan tujuan yang menyeluruh, serta bersikap waspada sebelum secara mental merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek
n.      Lupa menyampaikan pesan verbal kepada orang lain
o.      Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat, ya atau tidak
p.      Lebih suka melakukan demonstrasi daripada berpidato
q.      Lebih suka seni daripada musik
r.        Kadang-kadang kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memerhatikan.
2.      Auditorial
a.       Mudah terganggu dengan keributan
b.      Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca
c.       Senang membaca dengan keras dan mendengarkan
d.      Dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara
e.       Merasa kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita
f.       Berbicara dalam irama yang terpola
g.      Biasanya pembicara yang fasih
h.      Lebih suka musik daripada seni
i.        Belajar dengan mendengarkan, dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat
j.        Suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar
k.      Mempunyai masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain
l.        Lebih pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya
m.    Lebih suka gurauan lisan daripada membaca komik.
3.      Kinestetik
a.       Berbicara dengan perlahan
b.      Menggapai perhatian fisik
c.       Menyentuh orang untuk mendapat perhatian mereka
d.      Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang
e.       Selalu berorientasi pada fisik dan banyak bergerak
f.       Mempunyai perkembangan awal otot yang besar
g.      Belajar melalui manipulasi dan praktik
h.      Menghafal dengan cara berjalan dan melihat
i.        Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca
j.        Banyak menggunakan isyarat tubuh
k.      Tidak dapat diam dalam waktu lama
l.        Tidak dapat mengingat geogarafi, kecuali jika mereka memang telah pernah berada ditempat itu
m.    Menggunanakan kata-kata yang mengandung aksi
n.      Menyukai buku yang berorientasi pada plot-mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca
o.      Kemungkinan tulisannya jelek
p.      Ingin melakukan segala sesuatu
q.      Menyukai permainan yang menyibukan.
Pendekatan lain yang perlu mendapatkan tindak lanjut, sebagaimana yang diutarakan oleh Tolkhah (2004), adalah: pertama, pendekatan psikologis (psychological approach). Pendekatan ini perlu dipertimbangkan mengingat aspek psikologis manusia yang meliputi aspek rasional/intelektual, aspek emosional, dan aspek ingatan. Aspek rasional mendorong manusia untuk berfikir mengenai fungsi dan kedudukan Al-Qur’an Hadits bagi manusia. Aspek emosional mendorong manusia untuk merasakan bagitu pentingnya Al-Qur’an dan Hadits bagi kehidupan manusia. Sedangkan aspek ingatan dan keinginan manusia didorong untuk difungsikan ke dalam kegiatan mengahayati dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kedua, pendekatan sosio-kultural (socio-cultural approach). Suatu pendekatan yang melihat dimensi manusia tidak saja sebagai individu melainkan juga sebagai makhluk sosial-budaya yang memiliki berbagai potensi yang signifikan bagi pengembangan masyarakat, dan juga mampu mengembangkan sistem budaya dan kebudayaan yang berguna bagi kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya.
Sedangkan Departemen Agama (2004) menyajikan beberapa pendekatan yang dapat dijadikan acuan dalam proses pembelajaran Al-Qur’an Hadits [6], yaitu:
1.      Pendekatan keimanan/spiritual.
Proses pembelajaran yang dikembangkan dengan menekankan pada pengolahan rasa dan kemampuan beriman melalui pengembangan spiritual dalam menerima, menghayati, menyadari, dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam, sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits, dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan pemahaman bahwa Al-Qur’an merupakan kalamullah yang wajib diimani oleh semua umat Islam.
2.      Pendekatan pengamalan.
Proses pembelajaran yang dikembangkan dengan menekankan aktivitas peserta didik untuk menemukan dan memaknai pengalamannya sendiri dalam menerima dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam, terutama yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits, dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pembelajaran Al-Qur’an dan Hadits untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
3.      Pendekatan pembiasaan.
Proses pembelajaran ini dikembangkan dengan memberikan peran terhadap lingkungan belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah, dalam membangun sikap mental dan membangun masyarakat yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits, dengan melihat kesanggupan siswa dalam mengamalkan dan mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan belajar diusahakan dan dibentuk sedemikian rupa sehingga peserta didik dapat merasakan kenyamanan dalam mempraktekkan hasil-hasil pembelajaran Al-Qur’an Hadits. Semacam siswa tidak hanya tahu cara melafalkan surat Al-Fatihah, tetapi ia juga gemar untuk melafalkannya dalam berbagai kesempatan. Ataupun siswa telah belajar mengenai hadits tentang kebersihan, maka ia dapat membiasakan untuk mempraktekkan kandungan hadits tersebut.
4.      Pendekatan rasional.
Proses pembelajaran dengan menekankan fungsi rasio (akal) peserta didik sesuai dengan tingkat perkembangan kecerdasan intelektualnya dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an Hadits dalam kehidupan sehari-hari. Semacam setelah mempelajari hadits tentang ciri-ciri orang munafiq, maka peserta didik diberi kesempatan untuk menalar bahwa ciri-ciri yang ada dalam diri orang munafik tersebut bersifat negatif yang harus dijauhi.
5.      Pendekatan Emosional.
Proses pembelajaran yang dikembangkan dengan menekankan kecerdasan emosional peserta didik dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Terdapat lima unsur dalam kecerdasan emosional, yaitu kesadaran diri (self awarness), pengaturan diri (self regulation), motivasi (motivation), empati (emphaty), dan keterampilan sosial (social skill). Misalnya, ketika telah mempelajari hadits tentang persaudaraan, maka melalui lima komponen kecerdasan emosi tersebut peserta didik dapat mengamalkannya dengan baik.
Selain itu (Syaiful Bahri Djamarah: 2005) menyebutkan ada beberapa pendekatan yang diajukan dengan harapan dapat membantu guru dalam memecahakan berbagai permasalahan dalam interaksi educatif. Demi jelasnya ikutilah uraian berikut[7]:
1.      Pendekatan Individual
Pendekatan ini bersumber pada setiap anak didik yang mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda-beda. Pendekatan individual mempunyai arti penting bagi kepentingan pengajaran. Pengelolaan kelas sangat memerlukan pendekatan individual. Karena iru guru dalam melaksanakan tugasnya selalu saja melakukan pendekatan individual terhadap anak didik di kelas. Persoalan kesulitan belajar anak didik lebih mudah dipecahkan dengan menggunakan pendekatan individual.
2.      Pendekatan Kelompok
Pendekatan kelompok suatu waktu diperlukan dan digunakan untuk membina dan mengembnagkan sikap sosial anak didik. Hal ini didasari bahwa anak didik adalah sejenis makhluk homo socius, yakni makhluk yang berkecenderungan unutk hidup bersama. Dengan pendekatan ini diharapkan dapat menumbuhkan dan mengembangkan rasa sosial yang tinggi pada setip diri anak didik. Mereka dibina untuk mengendalikan rasa egoisme dalam diri mereka masing-masing sehingga terbina sikap kesetia kawanan sosal di kelas.
3.      Pendekatan Bervariasi
Dalam belajar anak didik mempunyai motivasi yang berbeda-beda. Pada suatu saat anak didik memiliki motivasi yang rendah tetapi pada saat lain anak didik mempunyai motivasi yang sangat tinggi. Pendekatan bervariasi bertolak dari konsepsi bahwa permasalahan yang dihadapi oleh setiap anak didik dalam belajar bermacam-macam. Kasus ini biasanya dengan berbagai motif, sehingga diperlukan variasi teknik pemecahan untuk setip kasus. Maka pendekatan bervariasi ini sebagai alat yang dapat digunakan untuk kepentingan mengajar.
4.      Pendekatan Edukatif
Apapun yang guru lakukan dan gunakan dalam pendidikan dan pengajaran bertujuan untuk mendidik bukan karena motif-motif lain. Setiap tindakan, sikap, dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai pendidikan, dengan tujuan untuk mendidik anak didik agar menghargai norma hukum, norma susila, norma moral, norma sosial, dan norma agama.
Sikap guru yang tidak tahu masalah yang dirasakan anak didik akan menciptakan anak yang introver (tertutup). Kerawanan hubungan guru dengan anak didik disebabkan komunikasi antara guru dengan anak didik kurang berjalan harmonis. Kerawanan hubungan ini menjadi kendala bagi guru untuk melakukan pendekatan edukatif kepada anak didik yang bermasalah.
Selain itu, dalam pembelajaran Al-qur’an dan Hadits, pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan adalah: pertama, pendekatan tujuan. Pendekatan ini digunakan karena didasari oleh pemikiran bahwa setiap kegiatan belajar mengajar, yang harus ditetapkan terlebih dahulu adalah tujuan yang hendak dicapai. Dengan mempertimbangkan tujuan pembelajaran Al-Qur’an Hadits sebagai mana yang telah diuraikan di atas, maka kemudian dapat ditentukan metode dan teknik pengajaran yang akan diterapkan untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Kedua adalah pendekatan struktural. Pendekatan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa Al-Qur’an Hadits dinarasikan dalam bahasa Arab, yang memiliki kaidah, norma, dan aturannya sendiri, khususnya dalam membaca dan menulisnya. Atas dasar itu, maka pembelajaranAl-Qur’an-Hadits menekankan pada penguasaan kaidah-kaidah pembacaan dan penulisan Al-Qur’an-Hadits dalam bahasa Arab. Lebih khusus lagi Al-Qur’an memiliki ilmu tersendiri tentang kaidah membacanya yang disebut ilmu tajwid.
Sebagai seorang guru, terutama dalam mengajarkan atau melaksanakan pembelajaran membaca Al-Qur’an Hadits, sudah semestinya dapat memahami pendekatan-pendekatan yang sesuai dan dapat diterapkan kepada peserta didik, supaya dalam penerapannya dapat mudah diterima oleh para peserta didik.

IV.             KESIMPULAN
Membaca Al-Qur’an Hadits menjadi kemampuan paling dasar yang harus dikuasai oleh umat islam. Ayat pertama yang yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril pun mengandung seruan untuk membaca. Seseorang yang membaca Al qur’an tidak boleh terlepas dari kaidah-kaidah tajwid. Ilmu tajwid adalah ilmu yang berguna untuk mengetahui bagaimana cara memenuhkan / memberikan hak huruf dan mustahaqnya. Selain tajwid, terdapat beberapa istilah lain yang lazim digunakan untuk merujuk ilmu spesifik pembacaan Al-Qur’an, yaitu: tartil (ترتيل) berasal dari kata rattalaرتل), yang berarti “melagukan”, tilawah ( تلاوة ), berasal dari kata talaaتلى ), yang berarti membaca secara tenang, berimbang dan menyenangkan”, dan qira’ah (قر اءة), berasal dari kata qara’a (قرا), yang berarti “membaca”.
Tujuan pembelajaran membaca Al-Qur’an dan Hadits meliputi aspek pengetahuan (knowing), aspek pelaksanaan (doing), dan aspek pembiasaan (being).
Secara garis besar, terdapat dua pendekatan dalam kegiatan pembelajaran, sebagaimana yang dikemukakan oleh Roy Killen (1998), yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered approaches). Selain itu juga ada pendekatan tujuan, pendekatan structural, pendekatan psikologis (psychological approach), pendekatan sosio-kultural (socio-cultural approach), Pendekatan keimanan/spiritual, pendekatan pengamalan, pendekatan pembiasaan, pendekatan rasional, pendekatan emosional, pendekatan individual, pendekatan kelompok, pendekatan bervariasi, dan pendekatan edukatif.
V.                PENUTUP
Demikianlah makalah Pembelajaran Al-Qur’an Hadits kami buat, tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan di dalam penulisan maupun pengambilan referensi, oleh sebab itu kami selaku penyusun makalah ini menerima kritik dan saran agar untuk pembuatan makalah kami ke depan menjadi lebih baik. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.



[1] H. Ahmad Annuri, Panduan Tahsin Tilawah Al Qur’an dan Ilmu Tajwid, (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2011). Hal. 17
[2] Ahmad Lutfi, Pembelajaran Al-Qur’an & Hadits, ( Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2009). Hlm. 62
[3] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Aktif, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005). Hlm. 5
[4] Melvin L. Silberman, Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif, (Jakarta: Penerbit Nusa Media, 2006). Hlm. 28
[5] Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, Quantum Learning, (Surabaya: Mizan Media Utama, 2009). Hlm. 116-118
[6] Ahmad Lutfi, Pembelajaran Al-Qur’an & Hadits, ( Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2009). Hlm. 63
[7] Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Aktif, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005). Hlm. 6-9
 


DAFTAR PUSTAKA

Annuri, Ahmad.  Panduan Tahsin Tilawah Al Qur’an dan Ilmu Tajwid. Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2011.
De Porter, Bobbi, dan Mike Hernacki. Quantum Learning. Surabaya: Mizan Media Utama, 2009.
Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Aktif. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
Lutfi, Ahmad. Pembelajaran Al-Qur’an & Hadits. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2009.
Silberman, Melvin L. . Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif. Jakarta: Penerbit Nusa Media, 2006.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar