MEMAHAMI
TUJUAN DAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN MEMBACA MATA PELAJARAN AL-QUR’AN & HADITS
DI MI
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Pembelajaan Al qur’an dan hadits
Dosen Pengampu: Ikhrom, M. Ag
Disusun Oleh:
1. Dina Fitriyani
(123911042)
2. Kholifah Istiqomah (123911056)
3. M. Abu Na’im (123911070)
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALSONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Terampil dalam membaca Al-qur’an dan Hadits menjadi kemampuan
paling dasar yang harus dikuasai oleh umat islam. Langkah awal untuk lebih
mendalami Al-Qur’an dan hadits adalah dengan cara
mampu membacanya dengan baik dan benar. Terlebih lagi terhadap Al-Qur’an,
karena ibadah penting dalam islam, yakni shalat, membutuhkan keterampilan
membaca Al-Qur’an dengan baik. Membaca Al-Qur’an saja sudah bernilai ibadah, maka
dari itu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar mempunyai nilai keagamaan yang
tinggi. Itulah sebabnya mengapa Al-Qur’an sebagai kitab suci yang dibaca
mempunyai peran sentral dalam kehidupan kaum muslimin. Sedangkan
peranan hadits yang sebagai penjelas Al-Qur’an akan menjadikan peserta didik
lebih memahami makna dari Al-quran.
Dalam pembelajaran membaca Al-Qur’an Hadits ada
beberapa pendekan yang digunakan, diantaranya yaitu: pendekatan individu,
pendekatan kelompok, pendekatan variasi, pendekatan edukatif, dan lain
sebangainya yang akan dibahas lebih mendalam oleh para pemakalah dan akan
didiskusikan bersama di bawah ini.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Bagaimana
Tujuan Pembelajaran Membaca Al-Qur’an Hadits?
B.
Pendekatan
Apasaja yang Digunakan dalam Pembelajaran Membaca Al-Qur’an Hadits?
III.
PEMBAHASAN
A.
Tujuan Pembelajaran Membaca Al-Qur’an Hadits
Membaca Al-Qur’an Hadits menjadi kemampuan paling dasar yang harus dikuasai oleh umat
islam. Ayat pertama
yang yang diturunkan Allah kepada Nabi Mhammad melalui Malaikat Jibril pun
mengandung seruan untuk membaca.
Yang artinya: “Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhanmu yang menciptakan”.
Seseorang yang membaca Al qur’an, baik tanpa
lagu maupun dilagukan dengan indah dan merdu, tidak boleh terlepas dari
kaidah-kaidah tajwid. Tajwid merupakan bentuk masdar dari fi’il madhi
“Jawwada” yang berarti membaguskan, menyempurnakan, memantapkan. Menurut
istilah, ilmu tajwid adalah ilmu yang berguna untuk mengetahui bagaimana cara
memenuhkan / memberikan hak huruf dan mustahaqnya. Baik yang berkaitan
dengan sifat, mad, dan sebagainya.[1]
Dari kitab syarh jazariyah dan al-itqan, mengungkap empat cara baca yang
tidak diperbolehkan. Pertama, at-tar’id (berguruh) yakni mengguruhkan
suara sebagaimana orang yang menggigil kedinginan atau kesakitan. Kedua, at-thartib
(kegirangan) merupakan lawan dari yang pertama, membaca dengan “mendendang”
hingga melalaikan yang seharusnya dibaca pendek-dipanjangkan atau sebaliknya
karena gramatika bahasa Arab tidak pernah membolehkannya. Ketiga, at-tahzin (ekspresi sedih),
kurangnya menghayati sisi dalam Al-Qur’an. Keempat, at-tarqish
(menari-nari/banyak gerak) hendaknya membaca dengan diam dan menghayati.
Melihat kondisi tersebut, tidaklah salah jika ibnu Al-jaziri
menghukumi wajib untuk menerapkan ilmu tajwid dalam membaca Al-Qur’an demi
menjaga keagungan kitab suci selain menjadi kitab yang ditafsirkan juga kitab
yang dibaca.
Istilah-istilah yang digunakan untuk menunjukkan ilmu pembacaan Al-Qur’an cukup banyak. Selain tajwid, terdapat beberapa istilah lain yang lazim digunakan untuk
merujuk ilmu spesifik pembacaan Al-Qur’an.
1. Tartil (ترتيل) berasal dari kata rattala ( رتل), yang berarti “melagukan. Tartil juga mencakup pemahaman
tentang tata cara berhenti (waqf) dan meneruskan (washl) dalam
pembacaan dan artikulasi yang tepat dalam pembacaan huruf-huruf hijaiyah. Dalam
perkembangannya saat ini, istilah tersebut tidak hanya merupakan suatu istilah
umum untuk pembacaan Al-Qur’an, tetapi juga merujuk kepada pembacaannya secara
cermat dan perlahan-lahan.
2. Tilawah ( تلاوة ), berasal dari kata talaa ( تلى ), yang berarti membaca secara tenang, berimbang dan
menyenangkan. Pada masa pra-islam, kata ini digunakan untuk merujuk pembacaan
syair. Pembacaan semacam ini mencakup cara sederhana pendengungan atau
pelaguan.
3.
Qira’ah, (قراءة), berasal dari kata (قرا), yang berarti “membaca” yang mesti dibedakan penggunaannya
untuk merujuk pada istilah yang berarti keragaman menmbaca Al-Qur’an. Disini
pembacaan Al-Qur’an mencakup hal-hal yang ada dalam istilah-istilah lain,
seperti tinggi rendahnya nada, penekanan pada pola-pola
durasi bacaan dan lain-lain.
Dengan demikian, jelas terlihat begitu pentingnya kemampuan membaca
Al-Qur’an dan hadits bagi ummat islam. Kemampuan ini akan terasah dengan baik
jika telah dimulai sejak dini. Anak-anak usia Madrasah Ibtidaiyah adalah usia
yang baik untuk menananamkan kemampuan membaca Al-Qur’an dan hadits. Untuk itu
perlu dirumuskan tujuan pembelajaran yang jelas dalam proses pendidikannya. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada anak
didik bahwa mampu membaca Al-Qur’an dan hadits dengan baik merupakan hal yang
penting dalam ajaran islam.
Dengan mengikuti tiga tujuan pembelajaran,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir (2008), maka pembelajaran
membaca Al-Qur’an dan hadits secara terpisah, adalah :
1.
Pembelajaran Membaca Al-Qur’an bertujuan :
a.
Aspek Pengetahuan (knowing)
Dalam hal ini, murid memiliki pengetahuan mengenai kewajiban
seorang muslim untuk menguasai keterampilan membaca Al-Qur’an. Karena langkah
awal untuk memahami Al-qur’an adalah dengan cara mampu membaca Al-Qur’an
menjadi pintu pertama untuk menghafalkannya, karena hafalan al-qur’an dengan
bacaan yang benar menjadi syarat dalam ibadah shalat. Bahkan murid juga
memiliki pengetahuan bahwa membaca Al-Qur’an menjadi bagian dari ibadah.
Setelah peserta didik memiliki pengetahuan mengenai pentingnya kemampuan
membaca Al-Qur’an, kondisi ini dilanjutkan dengan memberikan pengetahuan bahwa
Al-Qur’an itu dinarasikan dalam bahasa arab yang memiliki
norma, kaidah dan aturan-aturan tersendiri dalam membacanya.
Misalnya yang paling dasar adalah membaca Al-Qur’an dan hadits dimulai dari
arah sebelah kanan ke kiri. Pada tahap
selanjutnya guru juga perlu memberikan pengetahuan bahwa ilmu tajwid adalah
bagian dari cabang ilmu yang dapat membantu seseorang untuk membaca Al-Qur’an
dengan baik dan benar. Tentu saja dalam penyampaiannya harus dengan cara
bertahap. Untuk ilmu tajwid saja tidak semua cabangnya diberikan kepada sisiwa
MI. dengan demikian dibutuhkan kesabaran dan keteladanan dari guru untuk
mengarahkan dan mendidik siswanya. Karena pada aspek knowing ini guru
harus benar-benar yakin bahwa semua murid telah mengetahui apa yang telah
dipelajarinya. Untuk mencapai tujuan ini, guru dapat memilih metode ceramah,
tanya jawab, dan demonstrasi.
b.
Aspek Pelaksanaan (Doing)
Dalam hal ini pelaksanaan
yang di maksud adalah peserta
didik terampil dalam membaca ayat-ayat dari surat-surat tertentu dalam juz
‘amma yang menjadi materi pelajaran. Untuk mencapai tujuan ini metode yang
dapat digunakan adalah demonstrasi.
Setelah para siswa satu
kelas dirasa mampu melafalkan secara bersama-sama, guru dapat melakukan pengujian dengan menilai pelafalan para siswa satu persatu.
c.
Aspek Pembiasaan (being)
Keterampilan dalam
melafalkan dan membaca Al-Qur’an itu tidak hanya sekedar untuk diketahui tetapi
juga menjadi miliknya dan menyatu dengan kepribadiannya. Dalam contoh di atas,
setelah siswa benar-benar terampil dalam membaca Al-qur’an, maka setiap ia
hendak membaca Al-Qur’an maka dimulai dengan Al-Fatihah. Terlebih lagi dalam
berbagai kesempatan ia gemar untuk membaca Al-Fatihah. Hal yang sama juga
terjadi pada surat-surat lain yang telah dipelajarinya.
Untuk menjaga agar pelafalan
dan pembacaan murid terhadap surat-surat tetap baik, maka perlu untuk melakukan
pembiasaan. Beberapa teknik yang dapat dilakukan misalnya :
1)
Shalat berjamaah
Pelaksanaan shalat
berjamaah ini dapat dilakukan sebatas contoh. Kegiatan belajar seperti ini
dapat dilakukan dikelas, guru mendemonstrasikan gerakan shalat yang dibarengi
dengan pelafalan ayat-ayat dari surat tertentu, yang diikuti oleh siswa.
2)
Membaca Al-Qur’an berjamaah
Langkah pembiasaan untuk
melatih keterampilan melafalkan dan membaca surat tertentu dalam juz ‘amma
ini adalah dengan melafalkan, bahkan untuk tahap yang lebih tinggi dengan
membaca teksnya yang berbahasa Arab, terhadap Al-Qur’an secara bersama-sama.
Hal ini diulang beberapa kali dalam satu pertemuan sampai guru yakin para siswa
mampu melakukannya. Guru tidak boleh melanjutkan materi untuk melafalkan dan
membaca surat selanjutnya, jika para siswa belum
benar-benar terampil melafalkan dan membaca surat yang dipelajari tersebut.
3)
Perlombaan
Perlombaan yang dapat
dilakukan seperti perlombaan ketangkasan dalam melafalkan atau membaca
surat-surat tertentu dalam juz ‘amma. Atau bisa juga dengan guru membagi
murid kelas menjadi empat kelompok untuk saling unjuk kebolehan dalam melafalkan dan membaca surat.
2.
Pembelajaran membaca Hadits bertujuan :
a.
Aspek pengetahuan (knowing)
Hadits bagi ummat islam
juga memiliki peran yang sangat penting. Sebagai sumber ajaran kedua setelah
Al-Qur’an, hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an. Hadits juga berisi tuntunan-tuntunan
yang dilakukan oleh Rasul SAW. untuk diikuti oleh umat
islam. Pengetahuan semacam inilah yang menjadi landasan awal untuk diajarkan
kepada murid. Hadits-hadits yang akan dipelajari oleh murid didasarkan pada
tema-tema tertentu. Misalnya, kebersihan, hormat kepada orang tua, persaudaraan
dan lain sebagainya. Dengan demikian, setelah menjelaskan fungsi dan kedudukan
hadits bagi umat islam, adalah dengan memberikan pengetahuan berdasarkan tema
hadits yang akan diajarkan. Misalnya tema tentang kebersihan, maka guru
menjelaskan berbagai aspek yang berkenaan dengan kebersihan.
b.
Aspek Pelaksanaan (doing)
Setelah aspek knowing
dikuasai, langkah selanjutnya adalah pelaksanaan dari pengetahuan yang ia
peroleh. Terampil dalam melafalkan dan membaca teks Arab dari hadits yang
menjadi materi pelajaran adalah tujuan pembelajaran aspek doing. Dalam
pelaksanaannya guru dapat memilih metode audiolingual, misalnya, berdasarkan
pendekatan struktural, mengajarkan
melafalkan dan membaca hadits dengan mencurahkan
perhatian pada kata dan latihan berkali-kali secara intensif dari pola-pola
kalimat yang terdapat dalam hadits.
c.
Aspek Pembiasaan (being)
Pengetahuan dan
keterampilan membaca yang murid kuasai dari hadits yang telah dipelajari,
dilanjutkan dengan proses pembiasaan agar apa yang telah ia ketahui dan kuasai
tidak dilupakan. Teknik-teknik yang dapat dilakukan adalah :
1)
Membaca Hadits berjamaah
Dalam proses pembelajaran
dikenal istilah apersepsi. Guru dapat memanfaatkan sarana ini untuk
membaca hadits secara bersama-sama murid satu kelas. Kegiatan ini diulang
beberapa kali hingga murid melakukannya tanpa kesalahan. Guru tidak boleh
melanjutkan materi hadits selanjutnya, jika para siswa belum benar-benar yakin
bahwa hadits yang telah dipelajari telah dikuasai oleh murid.
2)
Karya wisata
Teknik ini dilakukan
dengan cara mengajak murid-murid keluar dari ruang kelas. Misalnya mengajak murid berkeliling disekitar lingkungan sekolah,
ketika mengajarkan tema hadits kebersihan, guru dapat memberi penjelasan
mengenai tema itu. Guru dapat menyisipkan hadits tentang kebersihan,
sambil meminta para murid melafalkannya secara bersama-sama.
B.
Pendekatan yang Digunakan dalam Pembelajaran Membaca Al-Qur’an
Hadits.
Secara garis besar, terdapat dua pendekatan dalam kegiatan
pembelajaran, sebagaimana yang dikemukakan oleh Roy Killen (1998), pertama yaitu
pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches), dalam
pendekatan ini guru menjadi komponen yang paling menentukan dalam implementasi
suatu strategi pembelajaran. Peran guru daam pendekatan ini sangat dominan,
guru menyampaikan materi pembelajaran secara terstruktur dengan harapan materi
pelajaran yang disampaikan itu dapat dikuasai siswa dengan baik. Fokus utama
pendekatan ini adalah kemampuan akademik siswa.[2]
Jadi, dalam pembelajaran membaca pada Al-Qur’an Hadits, guru harus bisa
menjalin interaksi yang edukatif. Contohnya, dalam penerapannya, seorang guru
pertama-tama menyiapkan sebuah teks bacaan berupa slide yang bisa ditampilkan
dan dilihat oleh seluruh anak didik, lalu guru tersebut akan membacanya
terlebih dahulu, lalu anak didik akan menirukannya. Disini peran media
pembelajaran juga diperlukan.
Dalam interaksi edukatif yang berlangsung telah terjadi interaksi
yang bertujuan. Interaksi yang bertujuan itu dsebabkan gurulah yang memaknainya
dengan menciptakan lingkungan yang bernilai edukatif demi kepentingan anak
didik dalam belajar. Guru ingin memberikan layanan yang terbaik kepada anak
didik, dengan menyediakan lingkungan yang menyenangkan dan menggairahkan. Guru
berusaha menjadi pembimbing yang baik dengan peranan yang arif dan bijaksana,
sehingga tercipta hubungan dua arah yang harmonis antara guru dan anak didik.
Ketika interaksi edukatif itu berproses, guru harus dengan ikhlas dalam
bersikap dan berbuat dan mau memahami anak didiknya dengan segala
konsekuensinya.
Dalam mengajar, guru harus pandai menggunakan pendekatan secara
arif dan bijaksana, bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik. Pandangan
guru terhadap anak didik akan menentukan sikap dan perbuatan. Setiap guru tidak
selalu mempunyai pandangan yang sama dalam menilai anak didik. Hal ini akan
mempengaruhi pendekatan yang guru ambil dalam pengajaran.[3]
Kedua adalah
pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered approaches), dalam
pendekatan ini menekankah bahwa setiap siswa yang belajar memiliki perbedaan
antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan itu baik dalam hal minat,
kemampuan, kesenangan, pengalaman, dan cara belajar. Dilihat dari latar
belakang pengetahuan mengenai Al-Qur’an, misalnya, terdapat siswa yang berasal
dari keluarga yang disiplin dalam mengenalkan Al-Qur’an sejak dini, dan ada
yang biasa-biasa saja, bahkan ada siswa yang sama sekali belum mengenal Al-Qur’an.
Ditinjau dari gaya belajarnya, kalangan pendidik telah menyadari
bahwa peserta didik memiliki 3 macam cara belajar, yaitu: belajar dengan cara
melihat (visual), belajar dengan cara mendengar (auditorial), dan
belajar dengan cara bergerak, bekerja, menyentuh (kinestetik).[4]
Banyak ciri-ciri perilaku lain yang merupakan petunjuk kecenderungan belajar
peserta didik. Ciri-ciri berikut ini akan membantu peserta didik menyesuaikan
dengan modalitas belajar peserta didik yang terbaik.[5]
1.
Visual
a.
Rapi
dan teratur
b.
Berbicara
dengan cepat
c.
Perencana
dan pengatur jangka panjang yang baik
d.
Teliti
terhadap detail
e.
Mementingkan
penampilan, baik dalam hal pakaian maupun presentasi
f.
Pengeja
yang baik dan dapat melihat kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka
g.
Mengingat
apa yang dilihat daripada yang didengar
h.
Mengingat
dengan asosiasi visual
i.
Biasanya
tidak terganggu oleh keributan
j.
Mempunyai
masalah untuk mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis, dan seringkali
minta bantuan orang untuk mengulanginya
k.
Pembaca
cepat dan tekun
l.
Lebih
suka membaca daripada dibacakan
m.
Membutuhkan
pandangan dan tujuan yang menyeluruh, serta bersikap waspada sebelum secara
mental merasa pasti tentang suatu masalah atau proyek
n.
Lupa
menyampaikan pesan verbal kepada orang lain
o.
Sering
menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat, ya atau tidak
p.
Lebih
suka melakukan demonstrasi daripada berpidato
q.
Lebih
suka seni daripada musik
r.
Kadang-kadang
kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memerhatikan.
2.
Auditorial
a.
Mudah
terganggu dengan keributan
b.
Menggerakkan
bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku ketika membaca
c.
Senang
membaca dengan keras dan mendengarkan
d.
Dapat
mengulangi kembali dan menirukan nada, birama, dan warna suara
e.
Merasa
kesulitan untuk menulis, tetapi hebat dalam bercerita
f.
Berbicara
dalam irama yang terpola
g.
Biasanya
pembicara yang fasih
h.
Lebih
suka musik daripada seni
i.
Belajar
dengan mendengarkan, dan mengingat apa yang didiskusikan daripada yang dilihat
j.
Suka
berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar
k.
Mempunyai
masalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang melibatkan visualisasi, seperti
memotong bagian-bagian hingga sesuai satu sama lain
l.
Lebih
pandai mengeja dengan keras daripada menuliskannya
m.
Lebih
suka gurauan lisan daripada membaca komik.
3.
Kinestetik
a.
Berbicara
dengan perlahan
b.
Menggapai
perhatian fisik
c.
Menyentuh
orang untuk mendapat perhatian mereka
d.
Berdiri
dekat ketika berbicara dengan orang
e.
Selalu
berorientasi pada fisik dan banyak bergerak
f.
Mempunyai
perkembangan awal otot yang besar
g.
Belajar
melalui manipulasi dan praktik
h.
Menghafal
dengan cara berjalan dan melihat
i.
Menggunakan
jari sebagai penunjuk ketika membaca
j.
Banyak
menggunakan isyarat tubuh
k.
Tidak
dapat diam dalam waktu lama
l.
Tidak
dapat mengingat geogarafi, kecuali jika mereka memang telah pernah berada
ditempat itu
m.
Menggunanakan
kata-kata yang mengandung aksi
n.
Menyukai
buku yang berorientasi pada plot-mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh
saat membaca
o.
Kemungkinan
tulisannya jelek
p.
Ingin
melakukan segala sesuatu
q.
Menyukai
permainan yang menyibukan.
Pendekatan lain yang perlu mendapatkan tindak lanjut, sebagaimana
yang diutarakan oleh Tolkhah (2004), adalah: pertama, pendekatan
psikologis (psychological approach). Pendekatan ini perlu
dipertimbangkan mengingat aspek psikologis manusia yang meliputi aspek
rasional/intelektual, aspek emosional, dan aspek ingatan. Aspek rasional
mendorong manusia untuk berfikir mengenai fungsi dan kedudukan Al-Qur’an Hadits
bagi manusia. Aspek emosional mendorong manusia untuk merasakan bagitu
pentingnya Al-Qur’an dan Hadits bagi kehidupan manusia. Sedangkan aspek ingatan
dan keinginan manusia didorong untuk difungsikan ke dalam kegiatan mengahayati
dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Kedua,
pendekatan sosio-kultural (socio-cultural approach). Suatu pendekatan
yang melihat dimensi manusia tidak saja sebagai individu melainkan juga sebagai
makhluk sosial-budaya yang memiliki berbagai potensi yang signifikan bagi
pengembangan masyarakat, dan juga mampu mengembangkan sistem budaya dan
kebudayaan yang berguna bagi kesejahteraan dan kebahagiaan hidupnya.
Sedangkan
Departemen Agama (2004) menyajikan beberapa pendekatan yang dapat dijadikan
acuan dalam proses pembelajaran Al-Qur’an Hadits [6],
yaitu:
1.
Pendekatan
keimanan/spiritual.
Proses pembelajaran yang dikembangkan dengan menekankan pada
pengolahan rasa dan kemampuan beriman melalui pengembangan spiritual dalam
menerima, menghayati, menyadari, dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama
Islam, sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits, dalam kehidupan
sehari-hari. Pendekatan ini memberikan peluang kepada peserta didik untuk
mengembangkan pemahaman bahwa Al-Qur’an merupakan kalamullah yang wajib
diimani oleh semua umat Islam.
2.
Pendekatan
pengamalan.
Proses pembelajaran yang dikembangkan dengan menekankan aktivitas
peserta didik untuk menemukan dan memaknai pengalamannya sendiri dalam menerima
dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam, terutama yang tertuang dalam
Al-Qur’an dan Hadits, dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan ini memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil
pembelajaran Al-Qur’an dan Hadits untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Pendekatan
pembiasaan.
Proses pembelajaran ini dikembangkan dengan memberikan peran
terhadap lingkungan belajar, baik di sekolah maupun di luar sekolah, dalam
membangun sikap mental dan membangun masyarakat yang sesuai dengan Al-Qur’an
dan Hadits, dengan melihat kesanggupan siswa dalam mengamalkan dan mewujudkan
nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits dalam kehidupan
sehari-hari. Lingkungan belajar diusahakan dan dibentuk sedemikian rupa
sehingga peserta didik dapat merasakan kenyamanan dalam mempraktekkan
hasil-hasil pembelajaran Al-Qur’an Hadits. Semacam siswa tidak hanya tahu cara
melafalkan surat Al-Fatihah, tetapi ia juga gemar untuk melafalkannya dalam
berbagai kesempatan. Ataupun siswa telah belajar mengenai hadits tentang
kebersihan, maka ia dapat membiasakan untuk mempraktekkan kandungan hadits
tersebut.
4.
Pendekatan
rasional.
Proses pembelajaran dengan menekankan fungsi rasio (akal) peserta
didik sesuai dengan tingkat perkembangan kecerdasan intelektualnya dalam
memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an Hadits
dalam kehidupan sehari-hari. Semacam setelah mempelajari hadits tentang ciri-ciri
orang munafiq, maka peserta didik diberi kesempatan untuk menalar bahwa
ciri-ciri yang ada dalam diri orang munafik tersebut bersifat negatif yang harus
dijauhi.
5.
Pendekatan
Emosional.
Proses pembelajaran yang dikembangkan dengan menekankan kecerdasan
emosional peserta didik dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Terdapat lima unsur dalam kecerdasan
emosional, yaitu kesadaran diri (self awarness), pengaturan diri (self
regulation), motivasi (motivation), empati (emphaty), dan keterampilan sosial
(social skill). Misalnya, ketika telah mempelajari hadits tentang persaudaraan,
maka melalui lima komponen kecerdasan emosi tersebut peserta didik dapat
mengamalkannya dengan baik.
Selain
itu (Syaiful Bahri Djamarah: 2005) menyebutkan ada beberapa pendekatan yang
diajukan dengan harapan dapat membantu guru dalam memecahakan berbagai permasalahan
dalam interaksi educatif. Demi jelasnya ikutilah uraian berikut[7]:
1.
Pendekatan
Individual
Pendekatan ini bersumber pada setiap anak didik yang mempunyai
karakteristik tersendiri yang berbeda-beda. Pendekatan individual mempunyai
arti penting bagi kepentingan pengajaran. Pengelolaan kelas sangat memerlukan
pendekatan individual. Karena iru guru dalam melaksanakan tugasnya selalu saja
melakukan pendekatan individual terhadap anak didik di kelas. Persoalan
kesulitan belajar anak didik lebih mudah dipecahkan dengan menggunakan
pendekatan individual.
2.
Pendekatan
Kelompok
Pendekatan kelompok suatu waktu diperlukan dan digunakan untuk
membina dan mengembnagkan sikap sosial anak didik. Hal ini didasari bahwa anak
didik adalah sejenis makhluk homo socius, yakni makhluk yang
berkecenderungan unutk hidup bersama. Dengan pendekatan ini diharapkan dapat
menumbuhkan dan mengembangkan rasa sosial yang tinggi pada setip diri anak
didik. Mereka dibina untuk mengendalikan rasa egoisme dalam diri mereka
masing-masing sehingga terbina sikap kesetia kawanan sosal di kelas.
3.
Pendekatan
Bervariasi
Dalam belajar anak didik mempunyai motivasi yang berbeda-beda. Pada
suatu saat anak didik memiliki motivasi yang rendah tetapi pada saat lain anak
didik mempunyai motivasi yang sangat tinggi. Pendekatan bervariasi bertolak
dari konsepsi bahwa permasalahan yang dihadapi oleh setiap anak didik dalam
belajar bermacam-macam. Kasus ini biasanya dengan berbagai motif, sehingga
diperlukan variasi teknik pemecahan untuk setip kasus. Maka pendekatan
bervariasi ini sebagai alat yang dapat digunakan untuk kepentingan mengajar.
4.
Pendekatan
Edukatif
Apapun yang guru lakukan dan gunakan dalam pendidikan dan
pengajaran bertujuan untuk mendidik bukan karena motif-motif lain. Setiap
tindakan, sikap, dan perbuatan yang guru lakukan harus bernilai pendidikan,
dengan tujuan untuk mendidik anak didik agar menghargai norma hukum, norma susila,
norma moral, norma sosial, dan norma agama.
Sikap guru yang tidak tahu masalah yang dirasakan anak didik akan
menciptakan anak yang introver (tertutup). Kerawanan hubungan guru
dengan anak didik disebabkan komunikasi antara guru dengan anak didik kurang
berjalan harmonis. Kerawanan hubungan ini menjadi kendala bagi guru untuk
melakukan pendekatan edukatif kepada anak didik yang bermasalah.
Selain itu, dalam pembelajaran Al-qur’an dan Hadits,
pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan adalah: pertama, pendekatan
tujuan. Pendekatan ini digunakan karena didasari oleh pemikiran bahwa setiap
kegiatan belajar mengajar, yang harus ditetapkan terlebih dahulu adalah tujuan
yang hendak dicapai. Dengan mempertimbangkan tujuan pembelajaran Al-Qur’an
Hadits sebagai mana yang telah diuraikan di atas, maka kemudian dapat
ditentukan metode dan teknik pengajaran yang akan diterapkan untuk mencapai
tujuan pembelajaran tersebut. Kedua adalah pendekatan struktural.
Pendekatan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa Al-Qur’an Hadits dinarasikan
dalam bahasa Arab, yang memiliki kaidah, norma, dan aturannya sendiri,
khususnya dalam membaca dan menulisnya. Atas dasar itu, maka pembelajaranAl-Qur’an-Hadits
menekankan pada penguasaan kaidah-kaidah pembacaan dan penulisan
Al-Qur’an-Hadits dalam bahasa Arab. Lebih khusus lagi Al-Qur’an memiliki ilmu
tersendiri tentang kaidah membacanya yang disebut ilmu tajwid.
Sebagai
seorang guru, terutama dalam mengajarkan atau melaksanakan pembelajaran membaca
Al-Qur’an Hadits, sudah semestinya dapat memahami pendekatan-pendekatan yang
sesuai dan dapat diterapkan kepada peserta didik, supaya dalam penerapannya
dapat mudah diterima oleh para peserta didik.
IV.
KESIMPULAN
Membaca Al-Qur’an Hadits menjadi kemampuan paling dasar yang harus dikuasai oleh umat
islam. Ayat pertama
yang yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril pun
mengandung seruan untuk membaca. Seseorang yang membaca Al qur’an tidak boleh
terlepas dari kaidah-kaidah tajwid. Ilmu tajwid adalah ilmu yang berguna untuk
mengetahui bagaimana cara memenuhkan / memberikan hak huruf dan mustahaqnya.
Selain tajwid, terdapat
beberapa istilah lain yang lazim digunakan untuk merujuk ilmu spesifik
pembacaan Al-Qur’an, yaitu: tartil (ترتيل) berasal dari kata rattala ( رتل), yang berarti “melagukan”, tilawah ( تلاوة ), berasal dari kata talaa ( تلى ), yang berarti membaca secara “tenang, berimbang dan menyenangkan”, dan qira’ah (قر اءة), berasal dari kata qara’a (قرا), yang berarti “membaca”.
Tujuan pembelajaran membaca
Al-Qur’an dan Hadits meliputi aspek pengetahuan (knowing),
aspek pelaksanaan (doing), dan aspek pembiasaan (being).
Secara
garis besar, terdapat dua pendekatan dalam kegiatan pembelajaran, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Roy Killen (1998), yaitu pendekatan yang berpusat pada
guru (teacher-centred approaches) dan pendekatan
yang berpusat pada siswa (student-centered approaches). Selain itu juga
ada pendekatan tujuan, pendekatan structural, pendekatan psikologis (psychological
approach), pendekatan sosio-kultural (socio-cultural approach), Pendekatan
keimanan/spiritual, pendekatan pengamalan, pendekatan pembiasaan, pendekatan
rasional, pendekatan emosional, pendekatan individual, pendekatan kelompok,
pendekatan bervariasi, dan pendekatan edukatif.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah Pembelajaran Al-Qur’an Hadits kami buat, tentunya masih banyak
kekurangan dan kesalahan di dalam penulisan maupun pengambilan referensi, oleh
sebab itu kami selaku penyusun makalah ini menerima kritik dan saran agar untuk
pembuatan makalah kami ke depan menjadi lebih baik. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
[1] H. Ahmad
Annuri, Panduan Tahsin Tilawah Al Qur’an dan Ilmu Tajwid, (Jakarta:
Pustaka Al Kautsar, 2011). Hal. 17
[2] Ahmad Lutfi, Pembelajaran
Al-Qur’an & Hadits, ( Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Departemen Agama RI, 2009). Hlm. 62
[3] Syaiful Bahri
Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Aktif, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2005). Hlm. 5
[4] Melvin L.
Silberman, Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa Aktif, (Jakarta: Penerbit
Nusa Media, 2006). Hlm. 28
[5] Bobbi DePorter
dan Mike Hernacki, Quantum Learning, (Surabaya: Mizan Media Utama,
2009). Hlm. 116-118
[6] Ahmad Lutfi, Pembelajaran
Al-Qur’an & Hadits, ( Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Departemen Agama RI, 2009). Hlm. 63
[7] Syaiful Bahri
Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Aktif, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2005). Hlm. 6-9
DAFTAR PUSTAKA
Annuri, Ahmad. Panduan
Tahsin Tilawah Al Qur’an dan Ilmu Tajwid. Jakarta: Pustaka Al Kautsar,
2011.
De Porter, Bobbi, dan Mike Hernacki. Quantum Learning. Surabaya:
Mizan Media Utama, 2009.
Djamarah, Syaiful Bahri. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi
Aktif. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
Lutfi, Ahmad. Pembelajaran Al-Qur’an & Hadits. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2009.
Silberman, Melvin L. . Active Learning: 101 Cara Belajar Siswa
Aktif. Jakarta: Penerbit Nusa Media, 2006.