Sabtu, 22 Maret 2014

MEMBANGUN MORALITAS DAN IDENTITAS BANGSA MELALUI PKN



MEMBANGUN MORALITAS DAN IDENTITAS BANGSA MELALUI PKN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Akhir PKn
Dosen Pembimbing: Syamsul Ma’arif M. Ag
 

Disusun oleh:
DINA FITRIANI                                           (123911042)
PGMI 3B
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2014


A.    LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan bangsa dengan berbagai modal sosial dan keberagaman budaya yang memiliki khas yang tidak dapat diragukan dan terbukti bisa menciptakan persatuan dan kesatuan, serta karakternya yang luhur menjadikan masyarakatnya senantiasa hidup tenteram dengan adanya persatuan dan kesatuan tersebut. Namun akhir-akhir ini, banyak terjadi perseteruan antarmasyarakat, pertikaian, serta fenomena korupsi merambah ke segala bidang menimbulkan nilai-nilai sosial dalam masyarakat mulai luntur. Kehalusan budi, sopan santun dalam sikap dan perbuatan, kerukunan, toleransi dan solidaritas sosial, idealisme, dan sebagainyatelah hilang karena hanyut dilanda derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang penuh dengan paradoks.
Kasus korupsi di Indonesia sendiri bukanlah hal yang bisa di abaikan, dari surat-surat kabar maupun media informasi lainnya, kita pasti akan menemukan berita tentang korupsi yang tak pernah ada habisnya, dari tingkat rendah maupun tingkat yang tinggi. Untuk wilayah ASEAN, Indonesia menduduki peringkat kelima sebagai negara terkorup di area negara-negara ASEAN.[1]
Dalam kasus tersebut, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), sebagai pendidikan dasar diharapkan mampu menjadi jalan tengah untuk mengatasi permasalahan-permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat.

B.     PEMBAHASAN
Korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptus” (merusak habis-habisan). Kata corruptus sendiri berasal dari kata corrumpere yang tersusun dari ‘com’ (menyeluruh) dan ‘rumpere’ (merusak). Sehingga, bisa diartikan bahwa korupsi merupakan tindakan yang merusak secara keseluruhan kepercayaan masyarakat kepada si pelaku korupsi, yang juga bahkan menghancurkan sendi kehidupan berasyarakat dan bernegara.
Sementara di sisi lain, korupsi (corrupt, corruptie, corruptio) juga bisa bermakna kebusukan, keburukan, dan kebejatan. Selain itu, menurut Acham dalam Nadiatus Salama (2010:16) mengartikan korupsi sebagai tindakan yang menyimpang dari norma masyarakat dengan cara memperoleh keuntungan untuk kepentingan diri sendiri serta merugikan kepentingan umum.
Dalam korupsi, semua orang dan golongan, seperti keluarga, teman, partai politik atau lembaga bisa dikaitkan. Hal itu menandakan bahwa fenomena korupsi bisa menjangkit ke segala lini kehidupan bak virus yang bisa menyebar ke mana saja. Hal ini tidak mengaburkan fakta bahwa korupsi memang selalu terjadi pada orang yang terlibat meski dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Lebih lanjut, Atalas menjelaskan dalam Nadiatus Salama (2010:19) bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab korupsi, antara lain yaitu:
a.       Lemahnya / tidak adanya kepemimpinan yang berpengaruh dalam “menjinakkan” korupsi.
b.      Kurangnya pendidikan agama dan etika
c.       Konsumerisme dan globalisasi
d.      Kurangnya pendidikan
e.       Kemiskinan
f.       Tidak adanya tindak hukum yang keras
g.      Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti-korupsi
h.      Struktur pemerintahan
i.        Perubahan radikal / transisi demokrasi.
Perbuatan korupsi bukan hanya seperti tindakan penggelapan uang, perampasan, dan sebagainya yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara, namun juga bisa dari hal kecil sekalipun. Sebagai contoh adalah tidak datang tepat waktu pada sebuah acara tertentu, itu merupakan korupsi waktu atas tidak adanya kedisiplinan yang diterapkan pada diri sendiri lebih khususnya. Hal seperti itu merupakan korupsi kecil yang bisa berdampak pada korupsi-korupsi yang lain.
Pendidikan pada umumnya dan pendidikan moral pada khususnya merupakan sarana untuk mengadakan perubahan secara mendasar, karena membawa perubahan sampai ke akar-akarnya.[2] Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik  menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat negara Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentuknya didasarkan pada semangat kebangsaan (nasionalisme) yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga negara tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya.
Pembaruan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memeperbarui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memperdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Dengan visi pendidikan tersebut, Nurul Zuriah (2008:8) menegemukakan misi pendidikan nasional sebagai berikut:
a.       Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.
b.      Membantu dan memfalisitasi pengembangan poensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.
c.       Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.
d.      Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.
e.       Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan visi dan misi di atas, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adapun strategi pembaruan sistem pendidikan nasional yang dapat dilakukan adalah:
1.         Pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia;
2.         Pengembangan dan pelaksanaan kurikulum 2013;
3.         Proses pendidikan dengan metode pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan;
4.         Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;
5.         Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
6.         Penyediaan sarana belajar yang mendidik;
7.         Pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan keadilan.
8.         Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
9.         Pelaksanaan wajib belajar yang diobtimalkan;
10.     Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
11.     Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat;
12.     Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikn nasional.
Dengan strategi tersebut, diharapkan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pendidikan moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar sekolah) yang mengorganisasikan dan “menyederhanankan” sumber-sumber moral dan disajikan dengan memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan.[3]
Pendidikan moral berusaha untuk mengembangkan pola perilaku seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Kehendak ini berwujud moralitas atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dan kehidupan yang berada dalam masyarakat. Karena menyangkut dua aspek inilah, maka pendidikan moral lebih banyak membahas masalah dilema yang berguna untuk mengambil keputusan moral yang terbaik bagi diri dan masyarakatnya.
Moral menurut Emile Durkheim (1990:9-13) diartikan sebagai norma yang menetapkan perilaku apa yang harus diambil pada suatu saat, bahkan sebelum kita dituntut untuk bertindak. Keputusan akan tindakan moral bagi seseorang mengandung unsur disiplin yang dibentuk oleh konsistensi dan otoritas, keterikatan pada kelompok sosial, dan otonomi kehendak individu.
Sedangkan moralitas menurut Durkheim (1961:10) meliputi konsistensi, keteraturan tingkah laku : apa yang menjadi moral hari ini akan menjadi moral esok hari.[4] Dengan demikian, terdapat kesinambungan dalam hal moralitas, apa yang kita lakukan hari ini akan berdampak di kehidupan mendatang.
Moralitas  berarti suatu orientasi aktivitas yang impersonal.[5] Tindakan dem diri kepentingan diri sendiri tidak pernah dianggap bersifat moral. Maka, obyek perilaku moral adaah kelompok kelompok, atau masyarakat. Karena, perilaku moral haruslah sesuatu yang berada di luar diri seseorang, atau di luar sejumlah orang dari sejumlah orang lain. Bertindak secara moral berarti bertindak secara kolektif.
Sekolah merupakan sarana yang tepat untuk mengenalkan sekaligus menanamkan nilai-nilai moral dalam kehidupan, karena moralitas harus dibentuk melalui pemikiran yang logis, dapat dinalar. Keluarga, meskipun sebagai sarana pendidikan pertama manusia, juga belum cukup untuk penerapan pendidikan moral, karena keakraban dan kehangatan dalam kekeluargaan betentangan dengan tuntutan moralitas yang keras.
Terdapat beberapa orientasi penting pendidikan nasional dalam membangun bangsa yang beradab:
1.      Membangun nialai-nilai toleransi antar sesama, baik dalam satu golongan maupun yang berbeda golongan, selama itu memiliki tujuan yang sama demi tujuan pendidikan nasional yang memgang teguh kebersamaan dalam konteks NKRI.
2.      Meneguhkan sikap menjunjung tinggi perbedaan yang ad sebagai bagian dari bangsa yang ber-bhinneka tunggal ika. Tidk ada sikap daling menjatuhkan maupun saling menghancurkan karena tujuan destruktif tertentu. Akan tetapi, tujan pamungkas dari sikap menjunjung tinggi perbedaan dilakukan demi kebaikan bersama, tidak memandang kelas sosial apa pun, baik karena faktor kekayaan, jabatan, keturunan, dan lain seterusnya.
3.      Memperkuat nilai-nilai solidaritas sebagai bangsa yng majemuk. Konteks penguatan solidaritas merupakan satu bentuk sikap yang membuka pandangan terbuka di setiap golongan yang berbeda di bangsa ini agar dapat menrima perbedaan dan keberbedaan itu secara terbuka, tidak ada sikap kecurigaan tertentu.
4.      Membuka sikap hidup untuk rukun di antara golongan yang bebrbeda tersebut sebagai bagian dari tujuan bangsa yang beradab.
5.      Menyadari atas kelemahan dan kekurangan pada setiap kelompok yang berbeda sehingga ini dapat membangkitkan semangat untuk dapat memberikan peringatan guna semakin berbenah diri dalam bersikap, berperilaku, dan bertindak.
6.      Memberikan maaf terhadap kesalahan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain, diminta maupun tidak diminta, dan begitu sebaliknya.[6]
Makna “Pendidikan moral” adalah bertujuan membantu peserta didik untuk mengenali nilai-nilai dan menempatkannya secara intregal dlam konteks keseluruhan hidupnya. Pendidikan semacam ini semakin penting dan menempati posisi sentral kerena tingkat kadar persatuan dan kesatuan terutama yang berkaitan dengan kesadaran akan nilai-nilai dalam masyarakat akhir-akhir ini semakin “pudar”.
Penanaman nilai sosial yang baik dapat dikembangkan oleh guru di sekolah adalah dengan mengajak peserta didik memahami natural setting dari masalah-masalah kemasyarakatan dan menempatkannya dalam proporsinya, serta merumuskan teknik-teknik pemecahan masalah yang dapat memunculkan keterampilan sosial tingkat tinggi pada diri seseorang, seperti keterampilan dalam berkomunikasi, bernegosiasi, berkompromi, menerima dan memberi, inquiry, dan menjustifikasi sesuatu masalah secara objektif.
Gross dalam Hamid Darmadi (2010:44) menyebutkan tujuan Value Education as social studies “to prepare students to be well-fungtioning citizens in a democratic society”. Konsekuensinya, peserta didik harus dikondisikan dan dilibatkan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan sekolah agar dapt mengaktualisasikan dirinya secara nyata.
Tujuan lain yang mencerminkan pendekatan rasionalitas dalam pendidikan nilai moral adalah mengembangkan kemampuan, menggunakan penalaran dalam pengambilan keputusan setiap persoalan yang dihadapi. We also think that the Value Education as social studies should be moreconcered with helping student make the most rational decisions that they can in thei own personal lifes (Gross, 1987)[7]
Pendidikan kewarganegaraan sebagai ilmu yang mengatur tentang kewarganegaraan, di dalamnya mencakup hubungan antara individu dengan individu lain dan juga berbagai kegiatan sosial dalam masyarakat di harapkan dapat menjadi pondasi pendidikan untuk membentuk masyarakat yang memiliki moral dan menjunjung tinggi rasa nasionalisme.
Pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk membangun karakter (character building) bangsa Indonesia dengan membentuk kecakapan  partisipatif warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab serta menjadikan warga negara yang cerdas, kritis, dan demokratis. Namun, tetap memiliki komitmen menjaga persatuan dan intregitas bangsa serta mengembangkan kultur demokrasi yang berkadaban.
Pendidikan kewarganegaraan diselenggarakan untuk membekali para mahasiswa selaku calon pemimpin di masa depan dengan kesadaran bela negara serta kemampuan berfikir secara komprehensif integral dalam rangka ketahanan nasional kesadaran bela negara ini berwujud sebagai kerelaan dan kesadaran melekukan kelangsungan hidup bangsa dan negara melalui bidang profesinya kesadaran bela negara.
Kemampuan berfikir komprehensif integral adalah kemampuan untuk berfikir tentang sesuatu dalam kaitannya dengan keseluruhannya jika kita melihat suatu peristiwa di masyarakat kita tidak memandang peristiwa itu menurut pandangan individu/golongan, melainkan berdasarka pandangan / kepentingan bersama yaitu kepentingan masyarakat / bangsa dari berbagai aspek kehidupan.
Berdasarkan keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006, visi pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna mengantarkan mahasisiwa mementatkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya. Hal ini berdasarkan pada suatu realitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah sebagai generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religious, berkeadaban, berkemanusiaan, dan cinta tanah air dan bangsanya.
Berdasarkan keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006, misi pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah untuk membantu mahasisiwa memantapkan kepribadiannya, agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa tanggung jawab dan bermoral.
Pada dasarnya, visi dan misi pkn tak hanya dalam lingkup perguruan tinggi, namun juga mencakup semua jenjang pendidikan dari yang paling rendah. Dari uraian visi dan misi di atas, pendidikan kewarganegaraan memiliki peran yang sangat penting dalam menjadikan suatu bangsa menjadi lebih bermoral atau beradab. Bangsa yang beradab menurut Moh. Yamin (2009:273) yaitu bangsa yang ketika dihuni oleh pelbagai ragam ras, suku, agama, dan adat istiadat mampu hidup berdampingan. Mereka hidup damai, tidak ada ketegangan yang justru dapat memecahkan persaudaraan, pertemanan, dan lain seterusnya karena karena faktor kepentingan sempit tertentu. Oleh karena itu, terkait dengan kondisi bangsa Indonesia yang pluralis dengan beragam suku, agama, dan lain seterusnya, maka sudah seharusnya pendidikan kewarganegaraan mampu menjadi gerbang utama dan terakhir untuk menyelamatkan manusia-manusia Indonesia dari pertengkaran, perkelahian, konflik, dan sejenisnya.
Pendidikan kewarganegaraan dengan pijakan pembangunan karakter bangsa (character nation building) ini sangat relavan untuk dilakukan saat ini, di mana banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di kawasan moral masyarakat sudah merambah ke seluruh pelosok negeri, mulai dari kasus-kasus kriminal, asusila, dan segala kejahatan lainnya membuktikan bahwa moral masyarakat harus benar-benar dibenahi.
Selanjutnya, untuk menumbuhkan semangat kebersamaan antarkelompok masyarakat, diperlukan kesadaran sepenuhnya dari setiap individu. Pertanyaanny adalah bagaimana dapat mengorientasikan peran pendidikan kewarganegaraan agar mampu melahirkan manusia-manusia yang berdiri di atas nilai-nilai pluralisme yang menghargai perbedaan agama dan berdiri kokoh di atas prinsip dasar multikulturalisme yang menghargai perbedaan budaya sebagai satu jalan menuju bangsa yang beradab? Secara tegas, ketika dikaitkan dengan pendidikan kewarganegaraan dalam konteks pembelajaran, maka sekolah, terutama para pendidik mulai dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan yang sederajat harus cerdas dalam membuat rencana pembelajaran yang tidak hanya membangun kapasitas kemampuan anak didik di ranah IQ semata, akan tetapi juga di wilayah EQ. Hal ini merupakan tanggung jawab yang tidak boleh ditinggalkan. Seorang pendidik harus mampu menciptakan karakter anak didik untuk tidak melakukan justifikasi kebenaran mutlak versi masing-masing bila berbeda pendapat karena kebenaran pendapat itu adalah relatif. 
Berbicara tentang karakter, dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 3, yang menyebutkan bahwa “ pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa…”[8] Dengan demikian, pendidikan mempunyai peran penting untuk kehidupan masyarakat, bukan hanya sebagai sarana untuk menjadikan masyarakat lebih terdidik, namun juga yang lebih penting mampu menciptakan bangsa yang bermartabat dan bermoral tinggi, serta mempertegas identitas bangsa.
Pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Dalam konteks Indonesia, identitas nasional merupakan manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku yang dihimpun dari satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pebgembangannya.[9] Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah pancasila yang akulturasinya tercermin dalam penataan kehidupan kita dalam arti luas, missal dalam aturan perundang-undangan atau hukum, sistem pemerintahan yang diharapkan, nilai-nilai etika dan moral yang secara normatif diterapkan dalam pergaulan, baik dalam aturan nasional maupu internasional, dan lain sebagainya. Nilai-nilai budaya yang tercermin di dalam identitas nasional tersebut bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, karena adanya hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya. Konsekuensi dan implikasinya adalah identitas nasional merupakan sesuatu yang terbuka untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan fungsidalam kondisi actual yang berkembang dalam masyarakat.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang dirumuskan atas dasar kehidupan bangsa Indonesia dan diperkaya dengan ide besar dunia digunakan sebagai pedoman bangsa Indonesia dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Fungsi dari pancasila juga sebagai pemersatu bangsa Indonesia, sebagai alat persatuan dan kesatuan, yang di dalamnya merumuskan langsung cita-cita bangsa Indonesia dalam bernegara, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia .
Noor Bakry (2010:116) memaparkan tentang ide dasar pemikian tiap sila dalam Pancasila, yaitu:
a.         Ketuhanan Yang Maha Esa
Ide dasar: Bangsa Indonesia sebagai kesatuan keseluruhan pada dasrnya percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang kemudian diangkat menjadi dasar negara, sehingga warga negara berkewajuban untuk mengakui dan menetapkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar negara, yang setiap warga negara harus ber-Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar hidupnya sendiri untuk mencapai kesejahteraan lahir batin.
Agama dalam suatu negaraharus diatur oleh hukum dasar dan perundang-undangan negara dengan selalu mengingat dan dijiwai oleh firman-firman Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pembangunan negara yang dilaksanakan adalah dalam rangka untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat dengan memenuhi perintah Tuhan, yang harus dipertanggungjawabkan juga kepada Tuhan.
b.      Kemanusiaan yang adil dan beradab
Ide dasar: bangsa Indonesia menyadari bahwa manusia mempunyai harkat dan martabat serta derajat yang sama. Persamaan harkat dan martabat manusia tidak terbatas pada satu kelompok masyarakat atau satu negara tertentu, akan tetapi kesamaan derajat meliputi seluruh umat manusia. Pengakuan bahwa seluruh manusia adalah saudara, setiap manusia merasa menjadi saudara dari manusia lain, berada dalam satu wadah keluarga umat manusia dalam mencapai kesejahteraan bersama.
Dalam sila ini, setiap manusia diakui sama derajatnya, manusia mempunyai hak dan kewajiban yang sesuai dengan prinsip keadilan, apa yang telah menjadi hak manusia dihormati oleh siapapun. Penghormatan atas hak manusia ini juga harus diimbangi pula dengan pemenuhan kewajiban oleh manusia sendiri terhadap lingkungannya, karena manusia bukan makhluk individu yang hidup sendiri, tetapi juga sebagai makhluk sosial.
c.       Persatuan Indonesia
Ide dasar: istilah bangsa mengandung pengertian kesatuan, dengan demikian bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan rakyat dalam satu negara Indonesia. Negara kesatuan meliputi segenap bangsa Indonesia , negara mengatasi segala paham perorangan maupun golongan. Negara Republik Indonesia merupakan negara kepulauan, mencakup bermacam-macam suku bangsa dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa Indonesia wajib menjaga persatua dan kesatuan bangsa, perbedaan-perbedaan harus diserasikan untuk mencapai cita-cita bersama menuju kesejahteraan bersama.
d.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Ide dasar: sistem pemerintahan negara bagi bangsa Indonesia bukan berdasarkan demokrasi rakyat yang menitikberatkan kepentingan kolektif dengan menganggap tiap-tiap individu sebagai bagian saja. Dan bukan berdasarkan demokrasi liberal yang menitikberatkan kepentingan individu dan mendasarkan diri atas jumlah suara saja. Sistem pemerintahannya adalah kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan, yang mengikutsertakan semua wakil rakyat yang mempunyai kepentingan dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dengan musyawarah mufakat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
e.       Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Ide dasar: Sila Keadilan sosial adalah suatu tuntutan untuk menyusun masyarakat sedemikian rupa sehingga semua lapisan dapat memberikan sumbangan dan karenanya terjamin pula kenikmatan hasil sumbangan itu. Penghisapan manusia atas manusia, harus dihapuskan. Dalam kehidupan bermasyarakat tidak ada suatu golongan kuat menindas golongan lemah. Semua diperlakukan secara adil, bekerja dan hidup secara layak untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.
Pancasila jika diselidiki secara mendalam akan dapat diketahui bahwa pada hakikatnya Pancasila adalah suatu kesatuan bulat asas-asas budi pekerti atau tabiat yang baik berdasarkan kodrat manusia, yang dapat disebut moral Pancasila, untuk membedakan dari lain-lain moral. Dengan demikian penetapan pancasila sebagai dasar filsafat negara berarti juga moral Pancasila yakni moral bangsa Indonesia menjadi moral negara Republik Indonesia, yaitu moral yang mengikat negara, selanjutnya hal itu berarti juga bahwa moral Pancasila telah menjadi sumber tertib negaradan sumber tertib hukumnya, serta jiwa seluruh kegiatan negara dalam segala bidang kehidupan.
Jika dalam ideologi negara yang ditekankan adalah sila kelima dengan menyatakan cita-cita yang ingin dicapai sebagai titik yang ingin dituju oleh negara, maka moral negara ini yang ditekankan adalah sila pertama dan sila kedua untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan cita-cita moral rakyat yang luhur. Negara Indonesia yang dibangun atas dasar moral ini, sebagai konsekunsinya harus tunduk kepada moral dan wajib membela dan melaksanakannya.
Lima asas moral Pancasila yang berupa ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyata, keadilan, yang merupakan satu kesatuan, bukan semata-mata moral bangsa Indonesia, melainkan moral yang mengikat seluruh umat manusia, dan oleh sebab itu dapat disebut moral universal. Adapun moral pancasila sebagaimana yang yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah moral kolektif, hanya khusus moral bangsa da negara Republik indonesia. Lima asas moral itu berakar pada kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhn dan manusia berpribadi sendiri, oleh sebab itu inheren dalam eksistensi manusia sebagai manusia. Dengan mempelajari kodrat manusia itulahdapat ditemukan kelima sila sebagai pedoman untuk bertindak baik dalam hidup bermasyarakat maupun bernegara. Sesuai dengan dalil bahwa segala sesuatu harus bertindak selaras dengan kodrat rasional, mengikuti perintah Tuhan dan akal budinya, mematuhi asas-asas moral sebagai pedoman bagi tindakan-tindakannya. Manusia memiliki kemampuan untuk mengenal kodratnya, dan norma-norma yang harus ditaatinya untk mrncapai tujuaneksistensinya sebagai manusia, yaitu moral religi dan moral kodrati.
Moral pancasila mengatasi semua golonga dan benar-benar bersifat nasional. Asas-asas dalam pancasila adalah asas-asas moral yang memang relavan sebagai dasar negara. Moral pancasila ditetapkan sebagai dasar negara karena ada dua alasan pokok, pertama harus bersikap umum sehingga dapat diterima oleh semua pihak, dan kedua karena pancasila sebagai jiwa bangsa yang dituangan dalam jiwa negara. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa pancasila adalah lima asas moral yang ditetapkan menjadi dasar Negara Republik Indonesia.
Moral pancasila menjadi pembimbing dalam membuat undang-undang yang mengatur kehidupan negara, menetapkan lembaga-lembaga negara dan tugas mereka masing-masing, hak-hak dan kedudukan warga negara, hubungan antara warga negara dan negara dan sebaliknya. Hal ini tidaklah berarti, bahwa seluruh moral harus dituangkan dalam undang-undang. Tidak semua moral dapat dijadikan moral yuridis, antara lain karena pancasila mencakup sila kemanusiaan yang adil dan beradab, yang pada intinya mewajibkan negara untuk menghormati martabat dan hak-hak asasi manusia, termasuk kebebasan-kebebasannya. Norma moral dapat ditetapkan menjadi norma hukum positif sejauh norma itu mengatur tindakan-tindakan lahiriah yang menyangkut orang lain, sedang soal batin adalah di luar kompetensi dan jangkauan negara srta hukumnya. Dalam hubungan ini dapat dikatakan, bahwa dalam bidang kehidupan batin hanya berlaku norma-norma moral, sedangkan dalam kehidupan lahiriah yang menyangkut hak-hak orang lain dapat dan harus berlaku pula norma-norma hukum sebagai pelaksanaan dan pengukuhan norma-norma moral tersebut. Demikian pula dengan sila-sila pancasila. Negara wajib mengamankan dan melaksanakannya, tetapi tidak dapat meneapkan semua kewajiban moral yang mengalir dari sila-sila itu menjadi kewajiban yuridis.
Dalam moral pancasila ini negara juga berkepentingan dengan melaksanakan pancasila sebagai moral seseorang. Karena makin baik warga mengamalkan pancasila atas keyakinannya sendiri, makin terjamin pula pelaksanaan pancasila yang dituangkan dalam perundang-undangannya. Sehubungan dengan itu negara dapat sampai batas-batas tertentu juga wajib ikut membina atau memajukan hidup susila rakyat dengan memberikan anjuran serta bimbingan dan menciptakan suasana yang menunjang sehingga moral atau budi pekerti yang luhur dapat dijalankan dengan mudah dan merdeka.
Perwujududan nilai-nilai Pancasila dalam hidup bernegara dituangkan dalam hukum dasar negara yang merupakan jelmaan pokok-pokok pikiran yang berkaitan dengan pengalaman pancasila dalam kenegaraan yang sebagai bentuk aktualisasi nilai-nilai pancasila.
Jika diperhatikan secara mendalam,suatu bangsa dapat hidup dan berkembang dengan intregitas dan kepribadian yang kuat, apabila mempunyai pandangan hidup yang dimengerti, dihayati dan diamalkan oleh seluruh warganya. Adapun jiwa dan kepribadian yang menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia ialah Pancasila yang diakui secara formal sebagai dasar negara Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Jiwa dan kepribadian bangsa ini dalam hidup sehari-hari sering menjadi kabur, karena pengaruh lingkungan. Pergaulan dan pendidikan yang kurang tepat menciptakan kerusakan moral bangsa Indonesia. Karena itu, jika suatu bangsa ingin tetap menjadi bangsa yang bermoral, maka harus selalu waspada terhadap pergaulan dan pengaruh lingkungan yang merusak kesatuan dan kepribadian bangsa. Maka demi kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia, Pancasila yang sebagai jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia harus dijunjung tinggi, diresapi, dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menanamkan dan penerapan nilai-nilai Pancasila, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peran yang sangat penting, karena Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memuat tentang ajaran kenegaraan, yang mana disini dijarkan bagaimana agar menjadi warga negara yang baik dan mampu menciptakan rasa patriotisme dan nasionalisme pada seluruh warga negara. Adapun starategi yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah sebagai berikut:
1.      Evokasi (kesempatan), strategi ini menekankan pada inisiatif siswa untuk mengekpresikan dirinya secara spontan yang didasrkan pada kebebasan dan kesempatan. Strategi ini sering dihadapkan pada kendala kultural dan psikologikal, terutama pada masyarakat yang masih eksklusif.
2.      Inkulkasi (menanamkan), strategi ini didasarkan pada sejumlah pertanyaan nilai yang telah tersusun oleh guru. Tujuannya untuk mempengaruhi dan mengarahkan siswa pada simpulan nilai yang sudah direncanakan.
3.      Kesadaran, yaitu bagaimana mengungkap dan membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai tertentu yang ada pada dirinya atau orang lain. Kesadaran itu akan tumbuh menjadi sesuatu yang menumbuhkan kesadaran tentang nilai dan seperangkat nilai tertentu.
4.      Penalaran moral, dimana siswa dilibatkan dalam dilema moral sehingga keputusan yang diambil terhadap dilema moral dapat diberikan alasan-alasan moral yang rasional.
5.      Analisis nilai, yaitu suatu strategi yang mengajak siswa untuk mengkaji dan menganalisis nilai yang ada pada suatu media stimulus yang telah disiapkan guru dalam pembelajaran PKn.
6.      Pengungkapan nilai, yaitu upaya meningkatkan kesadaran diri (self awareness) dan memperhatikan diri sendiri, bukan pemecahan masalah. Strategi ini membantu siswa untuk menemukan dan memeriksa nilai mereka untuk menemukan keberanian dan rasa aman.
7.      Komitmen, mengarahkan dan menekankan pada seperangkat nilai yang akan mendasari pola pikir setiap guru yang bertanggung jawab terhadap pendidikan nilai dan moral. Dalam PKn, yang menjadi komitmen dasarnya adalahnilai dan moral Pancasila, serta UUD 1945.
8.      Memadukan, menyatukan diri siswa dengan pengalaman dalam kehidupan riil yang dirancang oleh guru dalam proses pembelajaran. Proses penyatuan ini dimaksudkan agar siswa beenar-benar mengalami secara langsung pengalaman-pengalaman yang dirancang oleh guru melalui berbagai metode yang sesuai, seperti metode partisipatnar-benar mengalami secara langsung pengalaman-pengalaman yang dirancang oleh guru melalui berbagai metode yang sesuai, seperti metode partisipatori, simulasi, sosiodrama, dan studi proyek.
Melalui strategi pembelajaran tersebut, diharapkan optimalisasi Pendidikan Kewarganegaraan dapat berjalan lancar, sehingga tujuan serta visi dan misi Pendidikan Kewarganegaraan dapat tercapai. Selain itu, dalam pelaksanaan strategi pembelajaran, dibutuhkan metode-metode untuk memuahkan proses penyampaian materi, yaitu dengan Metode Pembelajaran Langsung (Direct Instruction), Pembelajaran Tidak Langsung (Indirect Instruction), dan Pembelajaran Interaktif (Interactive Instruction).
1.      Pembelajaran Langsung (Direct Instruction)
Beberapa metode yang termasuk dalam jenis ini meliputi: gambaran ikhtisar terstruktur, ceramah, demonstrasi, membandingkan, dan mengontraskan atau mempertentangkan. Secara umum, pembelajaran langsung ini menggunakan pendekaan ekspositori, bersifat satu arah, dan peran guru sangat dominan. Metode ini sangat efektif apabila digunakan oleh seorang guru yang memiliki bakat sebagai orator.
2.      Pembelajaran Tidak Langsung (Indirect Instruction)
Beberapa metode yang termasuk dalam jenis ini meliputi: pemecahan masalah, studi kasus, inkuri, diskusi reflektif, pembelajaran melalui pengaaman, pembentukan konsep dan pemantapan konsep. Secara umum, pembelajaran tidak langsung ini menggunakan pendekatan siswa aktif, bersifat dua arah, dan peran siswa lebih dominan. Metode ini sangat digunakan untuk mengaktifkan siswa dalam belajar.
Dalam metode Pemecahan Masalah, siswa diajak untuk menguraikan masalah, mencari sebuah solusi terhadap suatu persoalan yang terjadi dengan menggunakan gagasan atas pemikirannya. Metode ini merupakan bentuk berfikir yang paling murni.
Metode pembelajaran inkuri memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh pengalaman melalui pengumpulan informasi. Hal ini tentu memerlukan kemampuan berinteraksi yang intensif antara guru, siswa, bdang studi, sumber belajar, dan lingkungan belajar. Bertanya adalah inti dari belajar inkuri. Siswa harus mengajukan pertanyaan yang relevan dan mengembnagkan bagaimana cara menjawab dan menjelaskannya.
3.      Pembelajaran Interaktif (Interactive Intruction)
Beberapa metode yang termasuk dalam metode ini meliputi: debat, bermain peran, curah pendapat, diskusi, kelompok belajar kooperatif, jigsaw, kelompok tutorial, wawancara, dan konferensi. Secara umum, pembelajaran interaktif ini menggunakan pendekatan siswa aktif, bersifat dua arah, dan peran siswa lebih dominan.
Metode-metode tersebut sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Karena, melalui metode yang tepat, maka penyampaian pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan akan mudah dipahami dan dimengerti siswa. Sehingga proses penyerapan dan penerapan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan diimplementasikan dengan baik. Berawal dari proses pembelajaran itulah akan menghasilkan generasi-generasi penerus bangsa yang lebih bermoral dan sanggup membangun lagi identitas bangsa yang saat ini semakin memudar.

C.     KESIMPULAN
Di tengah gencarnya arus modernisasi yang melanda seluruh dunia, era globalisasi mempunyai banyak pengaruh bagi kemajuan dan kemunduran suatu bangsa. Indonesia sebagai salah satu bangsa yang berkembang, tak luput pula ikiut dalam arus tersebut. Sebagai dampak buruk yang diterima oleh bangsa Indonesia, kemunduran moral dari masyarakat Indonesia menjadi titik masalah yang bisa membawa pada kehancuran bangsa. Sebagai contoh akibat dari kemunduran moral bangsa Indonesia adalah dengan adanya kasus krupsi yang semakin merajalela ke segala ranah kehidupan. Jika hal ini terus dibiarkan maka lama-kelamaan Indonesia akan menjadi negara tak bermoral dan lenyap tanpa pengharapan.
Pendidikan sebagai  sarana mendasar penanaman moral, diharapkan mampu menjadi obat mujarab bagi pencegahan maupun penaanggulangan penyakit moral di Indonesia, yang mana pendidikan tersebut harus dengan pendidikan yang baik. Pendidikan moral dan Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan bisa menjadi jalan keluar dari penanaman dan perbaikan moral, serta membangun identitas dan jatidiri bangsa yang hampir mengalami keruntuhan.
Pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk membangun karakter (character building) bangsa Indonesia dengan membentuk kecakapan  partisipatif warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab serta menjadikan warga negara yang cerdas, kritis, dan demokratis. Namun, tetap memiliki komitmen menjaga persatuan dan intregitas bangsa serta mengembangkan kultur demokrasi yang berkadaban.
Pancasila sebagai bagian dari PKN dan sebagai dasar negara bangsa Indonesia, merupakan solusi yang terbaik atas berbagai masalah yang ada. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah sesuai dan mewakili watak bangsa Indonesia. Jadi, jika karakter dan moral bangsa Indonesia saat ini tidak sesuai dengan kandungan sila-sila pada Pancasila, maka harus dikembalikan lagi seperti semula, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik dan dapat tercipta kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai dasar dari pendidikan sosial yang didalamnya megatur tentang kenegaraan dan kewarganegaraan diharapkan mampu memperbaiki moral dan membangun identitas bangsa Indonesia. Melalui strategi dan metode pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi siswa secara fleksibel, diharapkan materi yang disampaikan seorang guru dapat diterima dan diterapkan dengan baik, sehingga tujan, visi, dan misi Pendidikan Kewarganegaraan dapat tercapai.



[1] Nadiatus Salama, M. Sos., M. Si, Fenomena Korupsi di Indonesia, 2010
[2] Dra. Nurul Zuriah, M.Si.,Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan,( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm. 5
[3] Dra. Nurul Zuriah, M.Si.,Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm.22
[4] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), moral diartiakan sebagai “1 (ajaran tt) baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila: -- mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuan; 2 kondisi mental yg membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan sebagaimana terungkap dl perbuatan: tentara kita memiliki -- dan daya tempur yg tinggi; 3 ajaran kesusilaan yg dapat ditarik dr suatu cerita;

[5] Emile Durkheim, Pendidikan Moral, Penerbit Erlangga. Hal. 11
[6] Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009). Hlm. 277
[7] Prof. Dr. Hamid Darmadi, M. Pd., Pengantar pendidikan Kewarganegaraan. (Bandung: Alfabeta, 2010). Hlm.44
[8] Sutardjo Aji Susilo, J. R, Pembelajaran Nilai Karakter, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2012). Hlm. 76
[9] Heri Herdiawan dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). Hlm. 34
 


DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Noor Ms, Pendidikan Pancasila, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Darmadi, Hamid. Pengantar Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung: Alfabeta, 2010
Durkheim, Emile, Pendidikan Moral, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Heri Herdiawan dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif Berwarganegara, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010
            Salama, Nadiatus, Fenomena Korupsi di Indonesia, 2010
Susilo, Sutardjo Aji, Pembelajaran Nilai Karakter, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012
Yamin, Moh, Menggugat Pendidikan Indonesia, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009
Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008
           



Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar