MEMBANGUN MORALITAS DAN IDENTITAS
BANGSA MELALUI PKN
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Akhir PKn
Dosen
Pembimbing: Syamsul Ma’arif M. Ag
Disusun
oleh:
DINA
FITRIANI (123911042)
PGMI
3B
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO
SEMARANG
2014
A.
LATAR
BELAKANG
Indonesia merupakan bangsa dengan berbagai modal sosial dan
keberagaman budaya yang memiliki khas yang tidak dapat diragukan dan terbukti
bisa menciptakan persatuan dan kesatuan, serta karakternya yang luhur
menjadikan masyarakatnya senantiasa hidup tenteram dengan adanya persatuan dan
kesatuan tersebut. Namun akhir-akhir ini, banyak terjadi perseteruan
antarmasyarakat, pertikaian, serta fenomena korupsi merambah ke segala bidang
menimbulkan nilai-nilai sosial dalam masyarakat mulai luntur. Kehalusan budi,
sopan santun dalam sikap dan perbuatan, kerukunan, toleransi dan solidaritas
sosial, idealisme, dan sebagainyatelah hilang karena hanyut dilanda derasnya
arus modernisasi dan globalisasi yang penuh dengan paradoks.
Kasus korupsi di Indonesia sendiri bukanlah hal yang bisa di
abaikan, dari surat-surat kabar maupun media informasi lainnya, kita pasti akan
menemukan berita tentang korupsi yang tak pernah ada habisnya, dari tingkat
rendah maupun tingkat yang tinggi. Untuk wilayah ASEAN, Indonesia menduduki
peringkat kelima sebagai negara terkorup di area negara-negara ASEAN.[1]
Dalam kasus tersebut, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), sebagai
pendidikan dasar diharapkan mampu menjadi jalan tengah untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat.
B.
PEMBAHASAN
Korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptus” (merusak
habis-habisan). Kata corruptus sendiri berasal dari kata corrumpere yang
tersusun dari ‘com’ (menyeluruh) dan ‘rumpere’ (merusak).
Sehingga, bisa diartikan bahwa korupsi merupakan tindakan yang merusak secara
keseluruhan kepercayaan masyarakat kepada si pelaku korupsi, yang juga bahkan
menghancurkan sendi kehidupan berasyarakat dan bernegara.
Sementara di sisi lain, korupsi (corrupt, corruptie, corruptio)
juga bisa bermakna kebusukan, keburukan, dan kebejatan. Selain itu, menurut
Acham dalam Nadiatus Salama (2010:16) mengartikan korupsi sebagai tindakan yang
menyimpang dari norma masyarakat dengan cara memperoleh keuntungan untuk
kepentingan diri sendiri serta merugikan kepentingan umum.
Dalam korupsi, semua orang dan golongan, seperti keluarga, teman,
partai politik atau lembaga bisa dikaitkan. Hal itu menandakan bahwa fenomena
korupsi bisa menjangkit ke segala lini kehidupan bak virus yang bisa menyebar
ke mana saja. Hal ini tidak mengaburkan fakta bahwa korupsi memang selalu
terjadi pada orang yang terlibat meski dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Lebih lanjut, Atalas menjelaskan dalam Nadiatus Salama (2010:19)
bahwa terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab korupsi, antara lain yaitu:
a.
Lemahnya
/ tidak adanya kepemimpinan yang berpengaruh dalam “menjinakkan” korupsi.
b.
Kurangnya
pendidikan agama dan etika
c.
Konsumerisme
dan globalisasi
d.
Kurangnya
pendidikan
e.
Kemiskinan
f.
Tidak
adanya tindak hukum yang keras
g.
Kelangkaan
lingkungan yang subur untuk perilaku anti-korupsi
h.
Struktur
pemerintahan
i.
Perubahan
radikal / transisi demokrasi.
Perbuatan korupsi bukan hanya seperti tindakan penggelapan uang,
perampasan, dan sebagainya yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara, namun
juga bisa dari hal kecil sekalipun. Sebagai contoh adalah tidak datang tepat
waktu pada sebuah acara tertentu, itu merupakan korupsi waktu atas tidak adanya
kedisiplinan yang diterapkan pada diri sendiri lebih khususnya. Hal seperti itu
merupakan korupsi kecil yang bisa berdampak pada korupsi-korupsi yang lain.
Pendidikan pada umumnya dan pendidikan moral pada khususnya
merupakan sarana untuk mengadakan perubahan secara mendasar, karena membawa
perubahan sampai ke akar-akarnya.[2] Pendidikan
di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen
kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hakikat negara Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara
kebangsaan modern adalah negara yang pembentuknya didasarkan pada semangat
kebangsaan (nasionalisme) yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun
masa depan bersama di bawah satu negara yang sama walaupun warga negara
tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik, atau golongannya.
Pembaruan sistem pendidikan nasional dilakukan untuk memeperbarui
visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Pendidikan nasional
memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat
dan berwibawa untuk memperdayakan semua warga negara Indonesia berkembang
menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan
zaman yang selalu berubah. Dengan visi pendidikan tersebut, Nurul Zuriah
(2008:8) menegemukakan misi pendidikan nasional sebagai berikut:
a.
Mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi
seluruh rakyat Indonesia.
b.
Membantu
dan memfalisitasi pengembangan poensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini
sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.
c.
Meningkatkan
kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan
pembentukan kepribadian yang bermoral.
d.
Meningkatkan
keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan
ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar
nasional dan global.
e.
Memberdayakan
peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip
otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan visi dan misi di atas,
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adapun strategi pembaruan sistem
pendidikan nasional yang dapat dilakukan adalah:
1.
Pelaksanaan
pendidikan agama serta akhlak mulia;
2.
Pengembangan
dan pelaksanaan kurikulum 2013;
3.
Proses
pendidikan dengan metode pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan;
4.
Evaluasi,
akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;
5.
Peningkatan
keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
6.
Penyediaan
sarana belajar yang mendidik;
7.
Pembiayaan
pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan keadilan.
8.
Penyelenggaraan
pendidikan yang terbuka dan merata;
9.
Pelaksanaan
wajib belajar yang diobtimalkan;
10.
Pelaksanaan
otonomi manajemen pendidikan;
11.
Pusat
pembudayaan dan pembangunan masyarakat;
12.
Pelaksanaan
pengawasan dalam sistem pendidikn nasional.
Dengan strategi tersebut, diharapkan visi, misi, dan tujuan
pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai
pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pendidikan moral adalah suatu program pendidikan (sekolah dan luar
sekolah) yang mengorganisasikan dan “menyederhanankan” sumber-sumber moral dan
disajikan dengan memperhatikan pertimbangan psikologis untuk tujuan pendidikan.[3]
Pendidikan moral berusaha untuk mengembangkan pola perilaku
seseorang sesuai dengan kehendak masyarakatnya. Kehendak ini berwujud moralitas
atau kesusilaan yang berisi nilai-nilai dan kehidupan yang berada dalam
masyarakat. Karena menyangkut dua aspek inilah, maka pendidikan moral lebih
banyak membahas masalah dilema yang berguna untuk mengambil keputusan moral
yang terbaik bagi diri dan masyarakatnya.
Moral menurut Emile Durkheim (1990:9-13) diartikan sebagai norma
yang menetapkan perilaku apa yang harus diambil pada suatu saat, bahkan sebelum
kita dituntut untuk bertindak. Keputusan akan tindakan moral bagi seseorang
mengandung unsur disiplin yang dibentuk oleh konsistensi dan otoritas,
keterikatan pada kelompok sosial, dan otonomi kehendak individu.
Sedangkan moralitas menurut Durkheim (1961:10) meliputi
konsistensi, keteraturan tingkah laku : apa yang menjadi moral hari ini akan
menjadi moral esok hari.[4]
Dengan demikian, terdapat kesinambungan dalam hal moralitas, apa yang kita
lakukan hari ini akan berdampak di kehidupan mendatang.
Moralitas berarti suatu
orientasi aktivitas yang impersonal.[5] Tindakan
dem diri kepentingan diri sendiri tidak pernah dianggap bersifat moral. Maka,
obyek perilaku moral adaah kelompok kelompok, atau masyarakat. Karena, perilaku
moral haruslah sesuatu yang berada di luar diri seseorang, atau di luar
sejumlah orang dari sejumlah orang lain. Bertindak secara moral berarti
bertindak secara kolektif.
Sekolah merupakan sarana yang tepat untuk mengenalkan sekaligus
menanamkan nilai-nilai moral dalam kehidupan, karena moralitas harus dibentuk
melalui pemikiran yang logis, dapat dinalar. Keluarga, meskipun sebagai sarana
pendidikan pertama manusia, juga belum cukup untuk penerapan pendidikan moral,
karena keakraban dan kehangatan dalam kekeluargaan betentangan dengan tuntutan
moralitas yang keras.
Terdapat beberapa orientasi penting
pendidikan nasional dalam membangun bangsa yang beradab:
1.
Membangun
nialai-nilai toleransi antar sesama, baik dalam satu golongan maupun yang
berbeda golongan, selama itu memiliki tujuan yang sama demi tujuan pendidikan
nasional yang memgang teguh kebersamaan dalam konteks NKRI.
2.
Meneguhkan
sikap menjunjung tinggi perbedaan yang ad sebagai bagian dari bangsa yang
ber-bhinneka tunggal ika. Tidk ada sikap daling menjatuhkan maupun saling
menghancurkan karena tujuan destruktif tertentu. Akan tetapi, tujan pamungkas
dari sikap menjunjung tinggi perbedaan dilakukan demi kebaikan bersama, tidak
memandang kelas sosial apa pun, baik karena faktor kekayaan, jabatan,
keturunan, dan lain seterusnya.
3.
Memperkuat
nilai-nilai solidaritas sebagai bangsa yng majemuk. Konteks penguatan
solidaritas merupakan satu bentuk sikap yang membuka pandangan terbuka di
setiap golongan yang berbeda di bangsa ini agar dapat menrima perbedaan dan
keberbedaan itu secara terbuka, tidak ada sikap kecurigaan tertentu.
4.
Membuka
sikap hidup untuk rukun di antara golongan yang bebrbeda tersebut sebagai
bagian dari tujuan bangsa yang beradab.
5.
Menyadari
atas kelemahan dan kekurangan pada setiap kelompok yang berbeda sehingga ini
dapat membangkitkan semangat untuk dapat memberikan peringatan guna semakin
berbenah diri dalam bersikap, berperilaku, dan bertindak.
6.
Memberikan
maaf terhadap kesalahan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok
lain, diminta maupun tidak diminta, dan begitu sebaliknya.[6]
Makna “Pendidikan moral” adalah bertujuan membantu peserta didik
untuk mengenali nilai-nilai dan menempatkannya secara intregal dlam konteks
keseluruhan hidupnya. Pendidikan semacam ini semakin penting dan menempati
posisi sentral kerena tingkat kadar persatuan dan kesatuan terutama yang
berkaitan dengan kesadaran akan nilai-nilai dalam masyarakat akhir-akhir ini
semakin “pudar”.
Penanaman nilai sosial yang baik dapat dikembangkan oleh guru di
sekolah adalah dengan mengajak peserta didik memahami natural setting
dari masalah-masalah kemasyarakatan dan menempatkannya dalam proporsinya, serta
merumuskan teknik-teknik pemecahan masalah yang dapat memunculkan keterampilan
sosial tingkat tinggi pada diri seseorang, seperti keterampilan dalam
berkomunikasi, bernegosiasi, berkompromi, menerima dan memberi, inquiry, dan
menjustifikasi sesuatu masalah secara objektif.
Gross dalam Hamid Darmadi (2010:44) menyebutkan tujuan Value
Education as social studies “to prepare students to be well-fungtioning
citizens in a democratic society”. Konsekuensinya, peserta didik harus
dikondisikan dan dilibatkan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan sekolah
agar dapt mengaktualisasikan dirinya secara nyata.
Tujuan lain yang mencerminkan pendekatan rasionalitas dalam
pendidikan nilai moral adalah mengembangkan kemampuan, menggunakan penalaran
dalam pengambilan keputusan setiap persoalan yang dihadapi. We also think
that the Value Education as social studies should be moreconcered with helping
student make the most rational decisions that they can in thei own personal
lifes (Gross, 1987)[7]
Pendidikan kewarganegaraan sebagai ilmu yang mengatur tentang
kewarganegaraan, di dalamnya mencakup hubungan antara individu dengan individu
lain dan juga berbagai kegiatan sosial dalam masyarakat di harapkan dapat
menjadi pondasi pendidikan untuk membentuk masyarakat yang memiliki moral dan
menjunjung tinggi rasa nasionalisme.
Pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk membangun karakter (character
building) bangsa Indonesia dengan membentuk kecakapan partisipatif warga negara yang bermutu dan
bertanggung jawab serta menjadikan warga negara yang cerdas, kritis, dan
demokratis. Namun, tetap memiliki komitmen menjaga persatuan dan intregitas
bangsa serta mengembangkan kultur demokrasi yang berkadaban.
Pendidikan kewarganegaraan diselenggarakan untuk membekali para
mahasiswa selaku calon pemimpin di masa depan dengan kesadaran bela negara
serta kemampuan berfikir secara komprehensif integral dalam rangka ketahanan
nasional kesadaran bela negara ini berwujud sebagai kerelaan dan kesadaran
melekukan kelangsungan hidup bangsa dan negara melalui bidang profesinya
kesadaran bela negara.
Kemampuan berfikir komprehensif integral adalah kemampuan untuk
berfikir tentang sesuatu dalam kaitannya dengan keseluruhannya jika kita
melihat suatu peristiwa di masyarakat kita tidak memandang peristiwa itu
menurut pandangan individu/golongan, melainkan berdasarka pandangan /
kepentingan bersama yaitu kepentingan masyarakat / bangsa dari berbagai aspek
kehidupan.
Berdasarkan keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006, visi
pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah merupakan sumber nilai
dan pedoman dalam pengembangan dan penyelenggaraan program studi, guna
mengantarkan mahasisiwa mementatkan kepribadiannya sebagai manusia seutuhnya.
Hal ini berdasarkan pada suatu realitas yang dihadapi, bahwa mahasiswa adalah
sebagai generasi bangsa yang harus memiliki visi intelektual, religious,
berkeadaban, berkemanusiaan, dan cinta tanah air dan bangsanya.
Berdasarkan keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/Kep/2006, misi
pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah untuk membantu mahasisiwa
memantapkan kepribadiannya, agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai
dasar pancasila, rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam menguasai,
menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dengan rasa
tanggung jawab dan bermoral.
Pada dasarnya, visi dan misi pkn tak hanya
dalam lingkup perguruan tinggi, namun juga mencakup semua jenjang pendidikan
dari yang paling rendah. Dari uraian
visi dan misi di atas, pendidikan kewarganegaraan memiliki peran yang sangat penting dalam
menjadikan suatu bangsa menjadi lebih bermoral atau beradab. Bangsa yang
beradab menurut Moh. Yamin (2009:273) yaitu bangsa
yang ketika dihuni oleh pelbagai ragam ras, suku, agama, dan adat istiadat
mampu hidup berdampingan. Mereka hidup damai, tidak ada ketegangan yang justru
dapat memecahkan persaudaraan, pertemanan, dan lain seterusnya karena karena
faktor kepentingan sempit tertentu. Oleh karena itu, terkait dengan kondisi
bangsa Indonesia yang pluralis dengan beragam suku, agama, dan lain seterusnya,
maka sudah seharusnya pendidikan kewarganegaraan mampu menjadi gerbang utama
dan terakhir untuk menyelamatkan manusia-manusia Indonesia dari pertengkaran,
perkelahian, konflik, dan sejenisnya.
Pendidikan kewarganegaraan dengan pijakan pembangunan karakter
bangsa (character nation building) ini sangat relavan untuk dilakukan
saat ini, di mana banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di kawasan
moral masyarakat sudah merambah ke seluruh pelosok negeri, mulai dari
kasus-kasus kriminal, asusila, dan segala kejahatan lainnya membuktikan bahwa
moral masyarakat harus benar-benar dibenahi.
Selanjutnya, untuk menumbuhkan semangat
kebersamaan antarkelompok masyarakat, diperlukan kesadaran sepenuhnya dari
setiap individu. Pertanyaanny
adalah bagaimana dapat mengorientasikan peran pendidikan kewarganegaraan agar
mampu melahirkan manusia-manusia yang berdiri di atas nilai-nilai pluralisme
yang menghargai perbedaan agama dan berdiri kokoh di atas prinsip dasar
multikulturalisme yang menghargai perbedaan budaya sebagai satu jalan menuju
bangsa yang beradab? Secara tegas, ketika dikaitkan dengan pendidikan
kewarganegaraan dalam konteks pembelajaran, maka sekolah, terutama para
pendidik mulai dari Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan yang sederajat harus
cerdas dalam membuat rencana pembelajaran yang tidak hanya membangun kapasitas
kemampuan anak didik di ranah IQ semata, akan tetapi juga di wilayah EQ. Hal ini
merupakan tanggung jawab yang tidak boleh ditinggalkan. Seorang pendidik harus
mampu menciptakan karakter anak didik untuk tidak melakukan justifikasi
kebenaran mutlak versi masing-masing bila berbeda pendapat karena kebenaran
pendapat itu adalah relatif.
Berbicara tentang karakter, dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional pada pasal 3, yang menyebutkan bahwa “ pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa…”[8]
Dengan demikian, pendidikan mempunyai peran penting untuk kehidupan masyarakat,
bukan hanya sebagai sarana untuk menjadikan masyarakat lebih terdidik, namun
juga yang lebih penting mampu menciptakan bangsa yang bermartabat dan bermoral
tinggi, serta mempertegas identitas bangsa.
Pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan
hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas,
terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Dalam konteks Indonesia, identitas nasional merupakan manifestasi
nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan
dari ratusan suku yang dihimpun dari satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan
nasional dengan acuan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar
dan arah pebgembangannya.[9]
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas nasional kita sebagai
bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah pancasila
yang akulturasinya tercermin dalam penataan kehidupan kita dalam arti luas,
missal dalam aturan perundang-undangan atau hukum, sistem pemerintahan yang
diharapkan, nilai-nilai etika dan moral yang secara normatif diterapkan dalam
pergaulan, baik dalam aturan nasional maupu internasional, dan lain sebagainya.
Nilai-nilai budaya yang tercermin di dalam identitas nasional tersebut bukanlah
barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, karena
adanya hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat pendukungnya.
Konsekuensi dan implikasinya adalah identitas nasional merupakan sesuatu yang
terbuka untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan
fungsidalam kondisi actual yang berkembang dalam masyarakat.
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang dirumuskan atas dasar
kehidupan bangsa Indonesia dan diperkaya dengan ide besar dunia digunakan
sebagai pedoman bangsa Indonesia dalam bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Fungsi
dari pancasila juga sebagai pemersatu bangsa Indonesia, sebagai alat persatuan
dan kesatuan, yang di dalamnya merumuskan langsung cita-cita bangsa Indonesia
dalam bernegara, yaitu untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia .
Noor Bakry (2010:116) memaparkan tentang ide dasar pemikian tiap
sila dalam Pancasila, yaitu:
a.
Ketuhanan
Yang Maha Esa
Ide
dasar: Bangsa Indonesia sebagai kesatuan keseluruhan pada dasrnya percaya
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang kemudian diangkat menjadi dasar negara,
sehingga warga negara berkewajuban untuk mengakui dan menetapkan bahwa
Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar negara, yang setiap warga negara harus
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar hidupnya sendiri untuk mencapai
kesejahteraan lahir batin.
Agama
dalam suatu negaraharus diatur oleh hukum dasar dan perundang-undangan negara
dengan selalu mengingat dan dijiwai oleh firman-firman Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, pembangunan negara yang dilaksanakan adalah dalam rangka untuk
mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat dengan memenuhi perintah Tuhan, yang
harus dipertanggungjawabkan juga kepada Tuhan.
b.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab
Ide
dasar: bangsa Indonesia menyadari bahwa manusia mempunyai harkat dan martabat
serta derajat yang sama. Persamaan harkat dan martabat manusia tidak terbatas
pada satu kelompok masyarakat atau satu negara tertentu, akan tetapi kesamaan
derajat meliputi seluruh umat manusia. Pengakuan bahwa seluruh manusia adalah
saudara, setiap manusia merasa menjadi saudara dari manusia lain, berada dalam
satu wadah keluarga umat manusia dalam mencapai kesejahteraan bersama.
Dalam
sila ini, setiap manusia diakui sama derajatnya, manusia mempunyai hak dan
kewajiban yang sesuai dengan prinsip keadilan, apa yang telah menjadi hak
manusia dihormati oleh siapapun. Penghormatan atas hak manusia ini juga harus
diimbangi pula dengan pemenuhan kewajiban oleh manusia sendiri terhadap
lingkungannya, karena manusia bukan makhluk individu yang hidup sendiri, tetapi
juga sebagai makhluk sosial.
c.
Persatuan
Indonesia
Ide dasar: istilah bangsa mengandung pengertian kesatuan, dengan
demikian bangsa Indonesia merupakan satu kesatuan rakyat dalam satu negara
Indonesia. Negara kesatuan meliputi segenap bangsa Indonesia , negara mengatasi
segala paham perorangan maupun golongan. Negara Republik Indonesia merupakan
negara kepulauan, mencakup bermacam-macam suku bangsa dengan prinsip Bhinneka
Tunggal Ika. Bangsa Indonesia wajib menjaga persatua dan kesatuan bangsa,
perbedaan-perbedaan harus diserasikan untuk mencapai cita-cita bersama menuju
kesejahteraan bersama.
d.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Ide dasar: sistem pemerintahan negara bagi bangsa Indonesia bukan
berdasarkan demokrasi rakyat yang menitikberatkan kepentingan kolektif dengan
menganggap tiap-tiap individu sebagai bagian saja. Dan bukan berdasarkan
demokrasi liberal yang menitikberatkan kepentingan individu dan mendasarkan
diri atas jumlah suara saja. Sistem pemerintahannya adalah kerakyatan dan
permusyawaratan perwakilan, yang mengikutsertakan semua wakil rakyat yang
mempunyai kepentingan dalam kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dengan
musyawarah mufakat untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
e.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Ide dasar: Sila Keadilan sosial adalah suatu tuntutan untuk
menyusun masyarakat sedemikian rupa sehingga semua lapisan dapat memberikan
sumbangan dan karenanya terjamin pula kenikmatan hasil sumbangan itu.
Penghisapan manusia atas manusia, harus dihapuskan. Dalam kehidupan
bermasyarakat tidak ada suatu golongan kuat menindas golongan lemah. Semua
diperlakukan secara adil, bekerja dan hidup secara layak untuk meningkatkan
kemakmuran rakyat.
Pancasila jika diselidiki secara mendalam akan dapat diketahui
bahwa pada hakikatnya Pancasila adalah suatu kesatuan bulat asas-asas budi
pekerti atau tabiat yang baik berdasarkan kodrat manusia, yang dapat disebut
moral Pancasila, untuk membedakan dari lain-lain moral. Dengan demikian
penetapan pancasila sebagai dasar filsafat negara berarti juga moral Pancasila
yakni moral bangsa Indonesia menjadi moral negara Republik Indonesia, yaitu
moral yang mengikat negara, selanjutnya hal itu berarti juga bahwa moral
Pancasila telah menjadi sumber tertib negaradan sumber tertib hukumnya, serta
jiwa seluruh kegiatan negara dalam segala bidang kehidupan.
Jika dalam ideologi negara yang ditekankan adalah sila kelima
dengan menyatakan cita-cita yang ingin dicapai sebagai titik yang ingin dituju
oleh negara, maka moral negara ini yang ditekankan adalah sila pertama dan sila
kedua untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan cita-cita moral
rakyat yang luhur. Negara Indonesia yang dibangun atas dasar moral ini, sebagai
konsekunsinya harus tunduk kepada moral dan wajib membela dan melaksanakannya.
Lima asas moral Pancasila yang berupa ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyata, keadilan, yang merupakan satu kesatuan, bukan semata-mata
moral bangsa Indonesia, melainkan moral yang mengikat seluruh umat manusia, dan
oleh sebab itu dapat disebut moral universal. Adapun moral pancasila
sebagaimana yang yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
moral kolektif, hanya khusus moral bangsa da negara Republik indonesia. Lima
asas moral itu berakar pada kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhn dan
manusia berpribadi sendiri, oleh sebab itu inheren dalam eksistensi manusia
sebagai manusia. Dengan mempelajari kodrat manusia itulahdapat ditemukan kelima
sila sebagai pedoman untuk bertindak baik dalam hidup bermasyarakat maupun
bernegara. Sesuai dengan dalil bahwa segala sesuatu harus bertindak selaras
dengan kodrat rasional, mengikuti perintah Tuhan dan akal budinya, mematuhi
asas-asas moral sebagai pedoman bagi tindakan-tindakannya. Manusia memiliki
kemampuan untuk mengenal kodratnya, dan norma-norma yang harus ditaatinya untk
mrncapai tujuaneksistensinya sebagai manusia, yaitu moral religi dan moral
kodrati.
Moral pancasila mengatasi semua golonga dan benar-benar bersifat
nasional. Asas-asas dalam pancasila adalah asas-asas moral yang memang relavan
sebagai dasar negara. Moral pancasila ditetapkan sebagai dasar negara karena
ada dua alasan pokok, pertama harus bersikap umum sehingga dapat diterima oleh
semua pihak, dan kedua karena pancasila sebagai jiwa bangsa yang dituangan
dalam jiwa negara. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa pancasila adalah lima
asas moral yang ditetapkan menjadi dasar Negara Republik Indonesia.
Moral pancasila menjadi pembimbing dalam membuat undang-undang yang
mengatur kehidupan negara, menetapkan lembaga-lembaga negara dan tugas mereka
masing-masing, hak-hak dan kedudukan warga negara, hubungan antara warga negara
dan negara dan sebaliknya. Hal ini tidaklah berarti, bahwa seluruh moral harus
dituangkan dalam undang-undang. Tidak semua moral dapat dijadikan moral
yuridis, antara lain karena pancasila mencakup sila kemanusiaan yang adil dan
beradab, yang pada intinya mewajibkan negara untuk menghormati martabat dan
hak-hak asasi manusia, termasuk kebebasan-kebebasannya. Norma moral dapat
ditetapkan menjadi norma hukum positif sejauh norma itu mengatur
tindakan-tindakan lahiriah yang menyangkut orang lain, sedang soal batin adalah
di luar kompetensi dan jangkauan negara srta hukumnya. Dalam hubungan ini dapat
dikatakan, bahwa dalam bidang kehidupan batin hanya berlaku norma-norma moral,
sedangkan dalam kehidupan lahiriah yang menyangkut hak-hak orang lain dapat dan
harus berlaku pula norma-norma hukum sebagai pelaksanaan dan pengukuhan
norma-norma moral tersebut. Demikian pula dengan sila-sila pancasila. Negara
wajib mengamankan dan melaksanakannya, tetapi tidak dapat meneapkan semua
kewajiban moral yang mengalir dari sila-sila itu menjadi kewajiban yuridis.
Dalam moral pancasila ini negara juga berkepentingan dengan
melaksanakan pancasila sebagai moral seseorang. Karena makin baik warga
mengamalkan pancasila atas keyakinannya sendiri, makin terjamin pula
pelaksanaan pancasila yang dituangkan dalam perundang-undangannya. Sehubungan
dengan itu negara dapat sampai batas-batas tertentu juga wajib ikut membina
atau memajukan hidup susila rakyat dengan memberikan anjuran serta bimbingan
dan menciptakan suasana yang menunjang sehingga moral atau budi pekerti yang
luhur dapat dijalankan dengan mudah dan merdeka.
Perwujududan nilai-nilai Pancasila dalam hidup bernegara dituangkan
dalam hukum dasar negara yang merupakan jelmaan pokok-pokok pikiran yang
berkaitan dengan pengalaman pancasila dalam kenegaraan yang sebagai bentuk aktualisasi
nilai-nilai pancasila.
Jika diperhatikan secara mendalam,suatu bangsa dapat hidup dan
berkembang dengan intregitas dan kepribadian yang kuat, apabila mempunyai
pandangan hidup yang dimengerti, dihayati dan diamalkan oleh seluruh warganya.
Adapun jiwa dan kepribadian yang menjadi pandangan hidup bangsa Indonesia ialah
Pancasila yang diakui secara formal sebagai dasar negara Indonesia seperti yang
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Jiwa dan kepribadian bangsa ini dalam hidup sehari-hari sering menjadi
kabur, karena pengaruh lingkungan. Pergaulan dan pendidikan yang kurang tepat menciptakan
kerusakan moral bangsa Indonesia. Karena itu, jika suatu bangsa ingin tetap
menjadi bangsa yang bermoral, maka harus selalu waspada terhadap pergaulan dan
pengaruh lingkungan yang merusak kesatuan dan kepribadian bangsa. Maka demi
kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia, Pancasila yang sebagai jiwa dan
kepribadian bangsa Indonesia harus dijunjung tinggi, diresapi, dan diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menanamkan dan penerapan nilai-nilai Pancasila, mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peran yang sangat penting, karena
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memuat tentang ajaran
kenegaraan, yang mana disini dijarkan bagaimana agar menjadi warga negara yang
baik dan mampu menciptakan rasa patriotisme dan nasionalisme pada seluruh warga
negara. Adapun starategi yang dapat dilakukan dalam proses pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) adalah sebagai berikut:
1.
Evokasi
(kesempatan), strategi ini menekankan pada inisiatif siswa untuk mengekpresikan
dirinya secara spontan yang didasrkan pada kebebasan dan kesempatan. Strategi
ini sering dihadapkan pada kendala kultural dan psikologikal, terutama pada
masyarakat yang masih eksklusif.
2.
Inkulkasi
(menanamkan), strategi ini didasarkan pada sejumlah pertanyaan nilai yang telah
tersusun oleh guru. Tujuannya untuk mempengaruhi dan mengarahkan siswa pada
simpulan nilai yang sudah direncanakan.
3.
Kesadaran,
yaitu bagaimana mengungkap dan membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai
tertentu yang ada pada dirinya atau orang lain. Kesadaran itu akan tumbuh
menjadi sesuatu yang menumbuhkan kesadaran tentang nilai dan seperangkat nilai
tertentu.
4.
Penalaran
moral, dimana siswa dilibatkan dalam dilema moral sehingga keputusan yang
diambil terhadap dilema moral dapat diberikan alasan-alasan moral yang
rasional.
5.
Analisis
nilai, yaitu suatu strategi yang mengajak siswa untuk mengkaji dan menganalisis
nilai yang ada pada suatu media stimulus yang telah disiapkan guru dalam
pembelajaran PKn.
6.
Pengungkapan
nilai, yaitu upaya meningkatkan kesadaran diri (self awareness) dan
memperhatikan diri sendiri, bukan pemecahan masalah. Strategi ini membantu
siswa untuk menemukan dan memeriksa nilai mereka untuk menemukan keberanian dan
rasa aman.
7.
Komitmen,
mengarahkan dan menekankan pada seperangkat nilai yang akan mendasari pola
pikir setiap guru yang bertanggung jawab terhadap pendidikan nilai dan moral.
Dalam PKn, yang menjadi komitmen dasarnya adalahnilai dan moral Pancasila,
serta UUD 1945.
8.
Memadukan,
menyatukan diri siswa dengan pengalaman dalam kehidupan riil yang dirancang
oleh guru dalam proses pembelajaran. Proses penyatuan ini dimaksudkan agar
siswa beenar-benar mengalami secara langsung pengalaman-pengalaman yang
dirancang oleh guru melalui berbagai metode yang sesuai, seperti metode
partisipatnar-benar mengalami secara langsung pengalaman-pengalaman yang
dirancang oleh guru melalui berbagai metode yang sesuai, seperti metode
partisipatori, simulasi, sosiodrama, dan studi proyek.
Melalui strategi pembelajaran tersebut, diharapkan optimalisasi
Pendidikan Kewarganegaraan dapat berjalan lancar, sehingga tujuan serta visi
dan misi Pendidikan Kewarganegaraan dapat tercapai. Selain itu, dalam
pelaksanaan strategi pembelajaran, dibutuhkan metode-metode untuk memuahkan
proses penyampaian materi, yaitu dengan Metode Pembelajaran Langsung (Direct
Instruction), Pembelajaran Tidak Langsung (Indirect Instruction), dan
Pembelajaran Interaktif (Interactive Instruction).
1.
Pembelajaran
Langsung (Direct Instruction)
Beberapa metode yang termasuk dalam jenis ini meliputi: gambaran
ikhtisar terstruktur, ceramah, demonstrasi, membandingkan, dan mengontraskan
atau mempertentangkan. Secara umum, pembelajaran langsung ini menggunakan
pendekaan ekspositori, bersifat satu arah, dan peran guru sangat dominan.
Metode ini sangat efektif apabila digunakan oleh seorang guru yang memiliki
bakat sebagai orator.
2.
Pembelajaran
Tidak Langsung (Indirect Instruction)
Beberapa metode yang termasuk dalam jenis ini meliputi: pemecahan
masalah, studi kasus, inkuri, diskusi reflektif, pembelajaran melalui
pengaaman, pembentukan konsep dan pemantapan konsep. Secara umum, pembelajaran
tidak langsung ini menggunakan pendekatan siswa aktif, bersifat dua arah, dan
peran siswa lebih dominan. Metode ini sangat digunakan untuk mengaktifkan siswa
dalam belajar.
Dalam metode Pemecahan Masalah, siswa diajak untuk menguraikan
masalah, mencari sebuah solusi terhadap suatu persoalan yang terjadi dengan
menggunakan gagasan atas pemikirannya. Metode ini merupakan bentuk berfikir
yang paling murni.
Metode pembelajaran inkuri memberi kesempatan kepada siswa untuk
memperoleh pengalaman melalui pengumpulan informasi. Hal ini tentu memerlukan
kemampuan berinteraksi yang intensif antara guru, siswa, bdang studi, sumber
belajar, dan lingkungan belajar. Bertanya adalah inti dari belajar inkuri.
Siswa harus mengajukan pertanyaan yang relevan dan mengembnagkan bagaimana cara
menjawab dan menjelaskannya.
3.
Pembelajaran
Interaktif (Interactive Intruction)
Beberapa metode yang termasuk dalam metode ini meliputi: debat,
bermain peran, curah pendapat, diskusi, kelompok belajar kooperatif, jigsaw,
kelompok tutorial, wawancara, dan konferensi. Secara umum, pembelajaran
interaktif ini menggunakan pendekatan siswa aktif, bersifat dua arah, dan peran
siswa lebih dominan.
Metode-metode tersebut sangat berpengaruh dalam proses pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan. Karena, melalui metode yang tepat, maka penyampaian
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan akan mudah dipahami dan dimengerti
siswa. Sehingga proses penyerapan dan penerapan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya akan diimplementasikan dengan baik. Berawal dari proses pembelajaran
itulah akan menghasilkan generasi-generasi penerus bangsa yang lebih bermoral
dan sanggup membangun lagi identitas bangsa yang saat ini semakin memudar.
C.
KESIMPULAN
Di tengah gencarnya arus modernisasi yang melanda seluruh dunia,
era globalisasi mempunyai banyak pengaruh bagi kemajuan dan kemunduran suatu
bangsa. Indonesia sebagai salah satu bangsa yang berkembang, tak luput pula
ikiut dalam arus tersebut. Sebagai dampak buruk yang diterima oleh bangsa
Indonesia, kemunduran moral dari masyarakat Indonesia menjadi titik masalah
yang bisa membawa pada kehancuran bangsa. Sebagai contoh akibat dari kemunduran
moral bangsa Indonesia adalah dengan adanya kasus krupsi yang semakin
merajalela ke segala ranah kehidupan. Jika hal ini terus dibiarkan maka
lama-kelamaan Indonesia akan menjadi negara tak bermoral dan lenyap tanpa
pengharapan.
Pendidikan sebagai sarana
mendasar penanaman moral, diharapkan mampu menjadi obat mujarab bagi pencegahan
maupun penaanggulangan penyakit moral di Indonesia, yang mana pendidikan
tersebut harus dengan pendidikan yang baik. Pendidikan moral dan Pendidikan
Kewarganegaraan diharapkan bisa menjadi jalan keluar dari penanaman dan
perbaikan moral, serta membangun identitas dan jatidiri bangsa yang hampir
mengalami keruntuhan.
Pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk membangun karakter (character
building) bangsa Indonesia dengan membentuk kecakapan partisipatif warga negara yang bermutu dan
bertanggung jawab serta menjadikan warga negara yang cerdas, kritis, dan
demokratis. Namun, tetap memiliki komitmen menjaga persatuan dan intregitas
bangsa serta mengembangkan kultur demokrasi yang berkadaban.
Pancasila sebagai bagian dari PKN dan sebagai dasar negara bangsa
Indonesia, merupakan solusi yang terbaik atas berbagai masalah yang ada.
Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah sesuai dan mewakili watak bangsa
Indonesia. Jadi, jika karakter dan moral bangsa Indonesia saat ini tidak sesuai
dengan kandungan sila-sila pada Pancasila, maka harus dikembalikan lagi seperti
semula, agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih baik dan dapat tercipta
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai dasar dari pendidikan sosial
yang didalamnya megatur tentang kenegaraan dan kewarganegaraan diharapkan mampu
memperbaiki moral dan membangun identitas bangsa Indonesia. Melalui strategi
dan metode pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi siswa secara fleksibel,
diharapkan materi yang disampaikan seorang guru dapat diterima dan diterapkan
dengan baik, sehingga tujan, visi, dan misi Pendidikan Kewarganegaraan dapat
tercapai.
[1]
Nadiatus Salama, M. Sos., M. Si, Fenomena Korupsi di Indonesia, 2010
[2]
Dra. Nurul Zuriah, M.Si.,Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif
Perubahan,( Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm. 5
[3]
Dra. Nurul Zuriah, M.Si.,Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif
Perubahan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm.22
[4] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), moral diartiakan sebagai “1
(ajaran tt) baik buruk yg diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban,
dsb; akhlak; budi pekerti; susila: -- mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan
mabuk-mabuk, bermain judi, dan bermain perempuan; 2 kondisi mental yg membuat orang tetap berani,
bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan
sebagaimana terungkap dl perbuatan: tentara kita memiliki -- dan daya tempur yg tinggi;
3 ajaran kesusilaan yg dapat ditarik dr
suatu cerita;
[5]
Emile Durkheim, Pendidikan Moral, Penerbit Erlangga. Hal. 11
[6]
Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2009). Hlm. 277
[7] Prof.
Dr. Hamid Darmadi, M. Pd., Pengantar pendidikan Kewarganegaraan. (Bandung:
Alfabeta, 2010). Hlm.44
[8]
Sutardjo Aji Susilo, J. R, Pembelajaran Nilai Karakter, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada 2012). Hlm. 76
[9]
Heri Herdiawan dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif
Berwarganegara, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010). Hlm. 34
DAFTAR
PUSTAKA
Bakry, Noor Ms, Pendidikan Pancasila,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Darmadi, Hamid. Pengantar Pendidikan
Kewarganegaraan, Bandung: Alfabeta, 2010
Durkheim,
Emile, Pendidikan Moral, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Heri Herdiawan dan Jumanta Hamdayama, Cerdas, Kritis, dan Aktif
Berwarganegara, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010
Salama,
Nadiatus, Fenomena Korupsi di Indonesia, 2010
Susilo, Sutardjo Aji, Pembelajaran Nilai Karakter, Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2012
Yamin,
Moh, Menggugat Pendidikan Indonesia, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009
Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam
Perspektif Perubahan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008