KEBUDAYAAN JAWA PRA ISLAM (MASA HINDU-BUDHA)
MAKALAH
Disusun guna
memenuhi tugas
Mata Kuliah: Islam
dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu: M. Rikza Chamami, M. SI
Disusun Oleh:
Ahmad Syamsul
Bahri (133311070)
Dina Fitriyani (123911042)
Kholifah
Istiqomah (123911056)
Novi Arifatul
Mufidah (123911072)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN (FITK)
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Peran agama-agama di Indonesia memiliki peranan sangat
panjang dalam kehidupan bermasyarakat. Indonesia sering disebut negara kaum
beragama, religius, dibuktikan dari sekian banyak agama yang diyakini
masyarakat. Jauh sebelum datangnya agama-agama
besar seperti Islam, Kristen, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha, bangsa
Indonesia menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Inilah yang oleh Karen
Armstrong (2002) disebut monoteisme primitive, percaya kepada Tuhan yang Esa.
Ada dua hal yang perlu dicatat sehubungan dengan
adanya islamisasi di Jawa. Pertama, agama Hindu, Budha, dan kepercayaan lama
telah berkembang lebih dahulu jika dibandingkan dengan agama Islam. Agama Hindu
dan Budha dipeluk oleh elit kerajaan, sedangkan kepercayaan asli yang bertumpu
pada animisme dipeluk oleh kalangan awam. Walaupun ketiganya berbeda, tetapi
semuanya bertumpu pada suatu titik.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana
Masuknya Hindhu-Budha yang
Pertama di Jawa?
B. Bagaimana
Kepercayaan Jawa pada Masa Hindhu-Budha?
C. Bagaimana
Budaya Jawa pada Masa Hindhu-Budha?
III.
PEMBAHASAN
A.
Masuknya
Hindhu
dan Budha
yang Pertama di Jawa.
Sejarah mencatat
bahwa di Jawa pernah mengalami “mutasi pertama” atau lebih tepatnya disebut
indianisasi. Sebenarnya kemungkinan adanya pengaruh India tidak pernah
terdeteksi oleh para peneliti Eropa sebelum awal abad ke-19. Raffles mengangkat
indianisasi menjadi topik yang menarik dengan mengaitkan antara Jawa dan India.
Gagasan indianisasi ini dilanjutkan oleh para peneliti Belanda yang lainnya,
yaitu: J.LA. Brandes (1957-1905), H. Kern (1833-1917), N.J. Krom (1883-1945),
dan W.F. Stutterheim (1892-1942). Mereka berjasa dalam menginterpretasikan masa
lampau Jawa
berdasarkan pengetahuan tentang India kuno. Sekarang perlu dipertanyakan apakah
tradisi Jawa masih menyimpan bekas-bekas persentuhan dengan Hindhu atau India.
Terdapat paling sedikit tiga petunjuk untuk mengapresiasi bagaimana persentuhan
budaya tersebut, yang telah meresap dalam mentalitas masyarakat Jawa.
Pertama, asal-usul suku bangsa Jawa yang
telah dijelaskan oleh C.C Berg dalam bentuk legenda tentang seseorang yang
bernama Aji Saka. Ia dikisahkan sebagai seorang muda putra. Aji Saka datang di
tanah Jawa, dan mendapatkan sebuah negri yang bernama Medangkamulan, yang kini
berada di daerah Grobogan, Purwodadi. Negeri ini dikuasai oleh seorang raja
pemakan daging manusia yang bernama Dewata Cengkar. Aji
Saka menawarkan diri menjadi makanan raja dengan syarat ia akan menerima satu
bidang tanah seluas destarnya sebagai gantinya. Tetapi ia terkejut karena
destarnya Aji semakin lama semakin lebar. Akhirnya DewataCengkar menyerakan
diri dan melepas kekuasaanya kepada Aji pada tahun 78 masehi.
Kedua, penafsiran indianisasi yang
lain, yang kurang bersifat historis diberikan dalam naskah jawa
abad 16, tulisan itu menjelaskan tentang asal mula Bhatara Guru (Siva) yang
pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu
supaya pulau jawa diberi penghuni. Brahma menciptakan kaum laki-laki dan wisnu
menciptakan kaum perempuan. Lalu semua dewa memutuskan untuk menetap di bumi
dan memindahkan Gunung Meru yang sampai saat itu masih berada di Negeri Jambudvipa atau di India.
Sejak saat itu gunung tertinggi yang menjadi lingga dunia atau pusat dunia itu
tertanam di pulau Jawa.
Ketiga, sebagai kelanjutan dari
teori mutasi perlu dicacat bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa
yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang membuktikan adanya kehendak untuk
menciptakan kembali geografi India yang dianggap keramat itu. Bukan hanya hanya
gunung-gunungnya tetapi juga kerajaan-kerajaan
yang namanya dipinjam dari Bahabarata. Demikian pula relief-relief candi
Borobudur tidak dapat ditafsirkan tanpa
mengetahui risalah India Mahayana. Namun antara India dan Jawa tidak bisa
disamakan.[1]
Secara artefaktual, beberapa peninggalan agama Hindu dan
Budha adalah terawal yang dijumpai di Nusantara. Di Jember pernah dijumpai arca
Budha batu yang berukuran sekitar 3 m dalam sikap berdiri. Dua arca Wisnu dijumpai pula di daerah
Batujaya-Karawang, arca itu berukura kecil dan terbuat dari batu hitam, bahan
yang tidak dikenal di wiliyah tersebut.[2]
B.
Kepercayaan
Jawa pada Masa Hindu-Budha
Kakawin
Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular
berisikan pesan keagamaan yang digubah dari Boddhakawya sehingga berkesan bahwa
ia adalah seorang Budha, yang memuja dewata/Ad-Budha. Namun dalam kakawin lain Uttrakanda
yang ditulisnya, jelas merupakan pemujaan kepada dewa Wisnu. Tradisi memuja
gunung merupakan kepercayaan pada kekeramatan tempat-tempat tinggi yang ada
hubungannya dengan pemujaan arwah nenek monyang yang terdapat sejak lama di
Asia Tenggara pada umumnya, sebelum kedatangan Hindu Budha di Jawa.[3]
Masyarakat Jawa mempunyai toleransi
keagamaan yang sangat besar. Mereka menganggap sepadan antara Budha dan para
Jiuna lainnya dengan Siwa dan para dewa lain. Masyarakat
Jawa mempercayai dalam kisah Porusada dengan Sutasoma, bahwa
Porusada telah berubah menjadi Maharudia atau Siwa, lalu ia marah menjadi Kala,
yaitu api yang akan membakar dunia. Cemas akan hal
ini para dewa turun dan membujuk Siwa dengan menjelaskan bahwa Siwa tak mungkin
mengalahkan Sutasoma yang merupakan penjelmaan Budha. Karena keduanya tidak
bisa dipisahkan. Dalam praktek keagamaannya, seorang pengikut agama Siwa ataupun Budha
haruslah mengetahui kedua jalan atau yoga. Artinya, seorang pendeta Budha akan
gagal (tiwas) kalau tidak mengetahui jalan kesiwaan, begitupula sebaliknya.
Karena jalan yang harus dilalui untuk menyembah Hyang Agung adalah seperti
jalan menuju puncak gunung yang dapat dicapai dari segenap penjuru.
Kepercayaan keagamaan masyarakat Jawa yang
terungkap melelui kakawin pada saat tertentu tampak berkembang dalam evolusi
yang lamban. Namun, yang pasti adalah kedua ideology yang baru, baik Hindhu dan
Budha rupanya lebih rukun antara satu dengan yang lain daripada di India.[4]
C.
Budaya
Jawa pada Masa Hindu Budha
Pada dasarnya
budaya di masa Hindu-Budha merupakan manifestasi kepercayaan Jawa Hindu-Budha
semenjak datangnya Hindu-Budha di tanah Jawa. Kegiatan tersebut berupa upacara
tradisi yenga sebagian masih dapat dilihat keberadaannya sampai saat ini.
Upacara tersebut dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan dari para Dewa.
Di masa
Majapahit para agamawan melaksanakan ritual kerajaan dengan baik, dan menjaga
candi-candi yang kebanyakan merupakan tempat pemujaan leluhur Raja. Kraton
merelakan hasil surplus dari tidak kurang 27 bidang tanah milik otonom (sima switantra), antara lain di Kwak dekat Magelang, di Yogya dan
Ponorogo yang dianugrahkan kepada rohaniwan agama Siva dan Budha ntuk
memohonkan kesejahteraan. Itu belum terhitung tanah lain yang dinamakan tanah
milik bebas (dharma lepas) untuk
menjadi drwya hyang atau bwat hyang (pajak untuk dewata). Bila
disatu pihak para Raja membebaskan tanah milik komunitas agamawan dari pajak,
maka di pihak lain mereka memungut pajak dan menuntun kerja rodi dari semua
warga desa lainnya yang langsung berada di bawah kekuasaannya. Keluarga Raja
tak mungkin hidup tanpa adanya pajak kerajaan (drwya aji) dan tugas-tugas wajib untuk Raja (gawai aji) yang mestinya tidak dikenakan pada sima.
Masyarakat Jawa
pada masa Hindu tampaknya berlapis tiga. Pertama,
terdiri dari kaum agamawan Hindu-Budha yang memiliki tanah bebas pajak. Kedua, keluarga Raja yang berkuasa atas
para raka (penguasa) lokal dengan bantuan kaum agamawan, dan yang Ketiga adalah masyarakat desa biasa yang
dipungut pajak oleh Raja dengan perantaraan mangilala
drwya aji atau pameran pajak. Dengan memperbanyak jumlah sima para Raja
berkepentingan menjaring dukungan agamawan, sedangkan dari sudut kekayaan
material, mereka juga berkepentingan untuk mengembangkan budidaya padi.
Ritual tua
lainnya di Jawa maupun di Pasundan untuk memperoleh kesejakteraan ekonomis
adalah upacara wiwit (permulaan musim
tanam) yang diwujudkan pada pemujaan dewa padi, Dewi Sri. Sekalipun nama Sri
berasal dari India, mitos itu terdapat di seluruh Nusantara samapai di
pulau-pulau yang sama sekali tidak tersentuh pengaruh India. Versinya
berbeda-beda, tetapi ceritanya sederhana: Sri telah dikurbankan, dan dari
berbagai bagian tubuhnya keluarlah tanaman-tanaman budidaya yang utama,
termasuk padi. Pemujaan terhadap Dewi Sri dewasa ini masih terus dilangsungkan
oleh para petani di desa untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Doa
ditunjukan kepada tokoh Sri yang menjelma menjadi padi. Jikalau orang hendak
menuai padi yang telah menguning, sebelumnya beberapa bulir padi dipungut dan
dibentuk seperti dua orang (lambang sepasang pengantin) yang dipertemukan dan
diarak pulang. Diharapkan nantinya sepasang pengantin padi akan mendatangkan
panenyang baik. Petani akan mempersembahkan ikatan-ikatan padi pertama yang
disimpan dengan hidmat sampai masa penebaran benih berikutnya.
Untuk menjaga
keserasian kosmis antara kekuatan-kekuatan yang slaing berlawanan, di desa juga
melakukan ritual kesuburan, yaitu agar menuasia dikarunia keturunan yang
banyak. Ketakutan akan kekurangan anak sesungguhnya merupakan ciri arkais
pedesaan Jawa yang berlangsung sangat lama. Hal itu merupakan warisan dari
suatu masa lampau yang sangat jauh, ketika kekayaan ekonomis bukanlah berupa
tanah atau uang melainkan tenaga kerja. Disaat itu manusia harus melawan hutan
rimba dan membuat ladang berundak. Di dalam serambi Candi Mandut, yang terletak
didekat Borobudur dan dibangun pada masa yang sama (kira-kira 800 M), Tampak
dua relief yang indah yang menggambarkan Hariti dan Yaksa Atavaka, dua raksasa
yang diajak sang Budha untuk memeluk agamanya dan dijadikan pelindung
kesuburan.
Upacara yang
dibicarakan diatas pada pokoknya adalah untuk menjaga keseimbangan antara desa
dan makrokosmos, serta menghindari goncangan yang dapat mengakibatkan turunnya
kesejahteraan materiil.
Salah satu
upacara yang lain adalah kurban kerbau yang sejak dini diwarnai mitologi India.
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat sejumlah patung Durga Mahisasuramardini,
artinya Durga yang sedang membantai rakasa berwujud kerbau. Louis Charles
Damais mengumakakan bahwa “batu kuburan” dalam bahasa Jawa disebut maesan, mungkin karena batu itu
menggantikan tonggak kurban temapat penambatan kerbau (maesa) yang umumnya disembelih waktu pemakaman pada zaman pra
Islam. Dewasa ini pun tidak ada gedung yang cukup besar yang dibangun tanpa
penguburan kepala kerbau.
Upacara ini yang
sangat penting adalah pagelaran wayang kulit. Bukti tertua tentang wayang kulit
berasal dari abad ke-10, berupa prasasti Bali yang menyebut digelarkannya
sebuah lakon kelahiran Bima (Bima
bungkus) yang kadang-kadang masih dipertunjukan dewasa ini. Peran
wiracarita-wiracarita India atas lakon-lakon wayang kulit besar sekali.
Kebanyakan tokoh dan sejumlah besar lakon diambil dari Ramayana dan Mahabarata.
Wayang hanya terdapat di Jawa dan daerah-daerah Nusantara yang tersentuh
kebudayaan Jawa itu.
Para dalang
adalah penggerak dunia gaib, dan dalam fungsi itulah mereka bersama rombongan niyaga-nya diundang ke desa-desa pada
upacara-upacara besar. Dalang diundang pada saat terjadinya peristiwa yang dianggap
dapat mengganggu keselarasan (rta: tata tertib kosmos) pada keluarga atau
kelompok masyarakat seperti banjir, gagal panen, dan wabah penyakit yang
menimpa manusia atau binatang. Di samping itu, dalang pun biasanya dipanggil
untuk mengadakan pertunjukan dalam upacara ruwatan kelahiran anak kembar atau
putera kelima, sunatan, dan perkawinan.
Selain
upacara-upacara diatas masih ada upacara lain untuk memelihara keseimbangan
kosmos. Di antara kultus-kultus yang hidup sampai sekarang terdapat beberapa
kultus yang sekalipun tidak disebut dengan jelas dalam sumber-sumber pra Islam,
dipastikan hanya berasal dari masa lampau. Salah satu bentuk pemujaan yang
menarik adalah kultus terhadap Ratu Kidul yang menguasai Laut Selatan atau
Samudra Hindia. Ratu Kidul konon tidak hanya menguasai ombak-ombak Samudra
Selatan yang mengamuk, tetapi juga semua dedemit
yang melanda dan mengancam kerajaan.[5]
Upacara
perawatan dan penjamasan pusaka sebagai tanda kebesaran sudah dikenal sejak
tahun 824 pada prasasti Karang Tengah yang menyebutkan kres (atau keris).
Pemilikan alat kebesaran ini, sebagaimna pemilikan wahyu (ketiban andaru, yaitu sebuah cahaya kilat tanda kebesaran yang
jatuh dari langit) adalah merupakan
tanda keabsahan. Semua benda pasuka dipersonifikasikan dan diberi nama yang
dihormati, yakni kiyai untuk laki-laki dan nyai untuk perempuan.
Penampilan
kerucut-kerucut nasi dalam upacara keagamaan sebagai garebeg sudah terbukti ada sejak abad ke-9. Dalam prasasti yang
dinamakan Prasasti Pintang Mas dari taun 878 M dan yang mungkin berasal dari
daerah dieng, tertulis perintah kepada seseorang dyah Putu apa yang harus
disajikannya pada para dewata....”dan bila tiba saatnya untuk pemujaan dewa (kapujan bhatara buat hyang) sekali
setahun (pisan ing setahun) kau harus
memberi penghormatan dewa Brahma (agawaya
annalingga pamuja I bhatara Brahma) dengan kata anna yang berasal dari bahasa Sansekerta, artinya nasi dan makanan
pada umumnya.
Garebeg
adalah
kelanjutan dari suatu ritual kuno di ibukota raja, dan berfungsi untuk
memulihkan keterpaduan kerajaan. Pada kesempatan itu para wakil provinsi datang
menghaturkan upeti dan rakyat bergembira ria. Ritual-ritualnya hampir sama
dengan upacara yang lain, yang semuanya mengukuhkan homogenitas model Jawa yang
orisinil. Upacara di ibukota raja dengan Sekaten di Alun-alun menjaga
keserasian antara kerajaannya dan kosmos. Sementara itu, warga desa juga
berusaha mencapai tujuan yang sama pada tingkat yang lebih sederhana.
Maka pada saat
itu tempaklah raja melakukan miyos dalem (penampilan
raja ke hadapan rakyatnya). Raja duduk diats tahta dikelilingi oleh
anggota-anggota keraton dan pusaka yang sakti dan perhatiannya mengarah ke
Tugu, sebuah monumen lingga yang terletak di bagian utara keraton yang
melambungkan kesatuan manusia dan Tuhan. Kemampuan raja mencapai kesatuan dimanfaatkan
untuk menegarkan keabsahan keraton. Pada kegiatan itu raja menyampaikan
berkahnya untuk kesejahteraan masyarakat.
Bagian kedua
dari pesta itu adalah arak-arakan sejumlah gunungan
ke luar istana. Gunungan yang dibuat
dari nasi dan bahan makanan lain merupakan lambang kesuburan sekaligus
kelimpahan. Kerucut-kerucut besar yang diangkut di atas usungan, untuk yang besar-besar diperlukan
sekurang-kurangnya sepuluh orang, dibuat dalam keraton beberapa hari menjelang
upacara. Yang paling tinggi dianggap lelaki (lanang)
dan memang menyerupai lingga. Yang lebar dikatakan perempuan (wadon), dan yang terkecil dianggap
anak-anak mereka, lalu dinamakan menurut bentuknya, yaitu darat, pawuhan, atau gepak.
Secara fisik
dalam kegiatan garebeg tersebut beras
dan bahan makanan merupakan persembahan kepada raja. Dan setelah diolah dan
dimasak oleh para abdi dalem, dikembalikan dalam bentuk lain, yang penuh dengan
berkah raja. Dengan demikian telah terjadi peralihan wujud dari yang mentah
kepada yang masak, dari yang kasar kepada yang halus, dari yang alamiah ke yang
beradab. Slametan adalah santap
bersama yang bernilai ritual, yang diadakan pada petang hari di antara kaum
lelaki. Mereka menikmati hidangan yang disajikan di atas lembaran daun pisang
berupa nasi kuning yang diwarnai dengan kunyit, dan berbagai hidangan daging.
Disini tujuannya adalah menjinakan roh, seperti: dedemit, lelembut, memedi, dan
tuyul yang memang dianggap hadir dan menghirup bau harum hidangan. Bila
mereka betul-betul sudah dijinakan, barulah manusia dapat “selamat”, seperti
yang terdapat dalam kata selametan itu sendiri. Selametan yang paling adalah
slametan bersih desa yang diadakan sekali setahun dan melibatkan semua warga
lelaki. Mereka melakukan doa bersam di makam yang diyakini sebagai makam
danyang desa, yaitu tokoh pendiri yang sekaligus menjadi roh pelindung
masyarakat desa.
Santapan bersama
itu merupakan ungkapan nyata semangat kolektif dikalangan penduduk desa dan
diwarisi dari zaman kuno. Ketika kelompok harus bersatu mempertahankan kesatuan
untuk membela diri terhadap keganasan hutan rimba.
IV.
SIMPULAN
Sejarah mencatat
bahwa di Jawa pernah mengalami “mutasi pertama” atau lebih tepatnya disebut
indianisasi. Setidaknya
terdapat tiga pendapat mengenai persentuhan antara agama Hindhu-India terhadap
Pulau Jawa, yaitu tentang asal mula Jawa yang diceritakan melalui legenda
Ajisaka, penafsiran indianisasi dalam naskah Jawa
abad 16 yang menjelaskan tentang asal mula
Bhatara Guru (siva) yang pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada
Brahma dan Wisnu supaya pulau Jawa diberi
penghuni, dan sebagai kelanjutan dari teori mutasi
perlu dicacat bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa
yang berasal dari bahasa Sanskerta.
Masyarakat Jawa mempunyai toleransi
keagamaan yang sangat besar. Mereka menganggap sepadan antara Budha dan para
Jiuna lainnya dengan Siwa dan para dewa lain. Pada masa sebelum Hindhu-Budha,
penduduk Jawa memuja arwah dan tempat-tempat yang dianggap keramat. Namun semenjak datangnya Hindu Budha di Jawa, mereka melakukan penyembahan kepada dewa berupa upacara tradisi yang ditujukan untuk mendapatkan
kesejahteraan dari para dewa. Dan pada masa ini, kehidupan masyarakatnya memandang
perbedaan kasta antara kaum priyai, penguasa, dan rakyat biasa.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah ini kami susun dan tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.